Selasa, 31 Juli 2012

Bebas


from  here

Dear You,
Aku tahu persis kamu di sana masih berdiri pada satu tanya.
Namun aku juga tahu, kamu selalu mengalihkannya. Sehingga sosok tanya itu menghilang. Perlahan, seiring lupamu.
Aku tahu persis kamu di sana menikmatinya.
Ya, menikmati rintik yang menjadi riak dipermukaan tanah itu. Kamu tahu maksudku apa. Ya, dia hujan. Kamu masih menikmatinya. Sekedar menikmatinya. Tanpa rindu.
Akupun sedang menikmatinya. Tanpamu.

Kita sama tahu. Tidak ada yang ingin bertahan lama dalam keadaan ini. Kita perlu menentukannya sendiri bukan?

Seperti aliran sungai yang menemukan pecahannya dalam satu aliran. Kita seperti itu. Dulu kita satu. Tanpa aku ucapkan pun kamu sepertinya sudah tahu. Tapi kini tidak lagi. Kita tetap air yang mengikuti arusnya. Namun kita terpisah, seiring arus itu menemukan kita pada sebuah batu. Kita membelah, tentu bukan batu itu yang terbelah. Melainkan kita.

Kita menemukan arus sendiri. Tanpa saling berinteraksi. Kamu bebas melaju, akupun begitu.
Setidaknya seperti itulah kini. Walaupun pada akhirnya tujuan dari aliran itu adalah laut. Tapi kita tak pernah tahu berapa lama waktu yang harus ditempuh untuk bertemu kembali. 

Nyatanya bebasku, bebas yang mengikat. Selalu ingin kembali beriring mengikuti aliranmu. Kembali kepada tanya, apakah aliranmu terhenti menungguku. Meskipun aku tahu, aliranmu sudah melaju lebih dulu, menyatu dengan arus. Sedangkan aku, aku belum tahu apakah aliranku akan sampai atau tidak. Atau malah hanya akan menguap tersengat matahari sebelum sampai menujumu.

Senin, 16 Juli 2012


Bagiku hal yang menakjubkan itu adalah

  1. Tuhan
  2. Kata
  3. Senja
  4. Hujan
  5. Ombak

Akan selalu begitu bagiku, kamu?


Jumat, 13 Juli 2012

Namanya November


pict from here


Masihkah kamu mengingatnya? Siapa? Dia Novembermu.

Pertanyaan itu menyeruak kepermukaan menerobos dinding hati menghantarkannya pada logika yang sedikit menolak untuk menjawabnya. Dengan spontan semua yang (pernah) ada terulang  kembali, semua jejak rekam yang tanpa dimintapun telah tertata dan tersusun rapi disana. Memutarnya, memperlihatkan, mendendangkan tawa, cerita, seraut wajah dan senyuman.  (Masih) pada ruang itu. Ya, ruang yang pernah aku ceritakan ke kamu. Ingat?

Mungkin terlihat kosong dan sedikit berdebu di dalamnya.

Sejak hari itu, November tidak lagi hadir pada Juni, Juli dan (mungkin) untuk Agustus dan seterusnya. November hanya untuk November (saat ini) seperti itu. Ya, tidak ada kisah lagi tentangnya yang (pernah) menghiasi pada Juni, Juli, dan seterusnya.

Apa kamu masih ingat? Pada setiap sudut yang pernah aku ceritakan ke kamu secara detail. Hanya kepada kamu ruangan itu aku ceritakan. Seperti rahasia. Karena memang kamu pemilik ruangan itu. Lihat saja ukiran yang masih menggantung pada dinding dalam ruangan itu, masih kamu. Dan coba kamu dengarkan musik yang mengalun itu, masih mengingatkan pada kamu saat aku memasukinya (kembali).

Aku (mungkin) tidak pernah lupa untuk pagi November yang datang lebih awal. Membagi kisahnya, tawanya. Kita bertemu di ruangan itu. Hanya kita pendatang tetap disana. Tidak ada yang lain. Pernah ada “Kita” (dulu) kini menjadi aku “dan” November, ya seperti itu.

Mengasikkan, (dulu). Kini tidak lagi sebelum aku kehilangan November pada Juni. Selalu ada rindu (dulu), kini tidak lagi bahkan sebelum Juli menampakkan diri. Hujan juga menyenangkan (dulu ), kini tidak lagi. Hanya sebatas butiran air yang jatuh tanpa bisa dinikmati.

Tapi, November tetap November. Akan selalu begitu. 


Selasa, 03 Juli 2012

tidak sekarang tapi nanti


Kembali. Saat ini ada sesak yang menyeruak ke permukaan. Kamu tahu sesak itu apa? Sesak itu adalah RINDU. Masih dari tempat yang sama. Masih pada hati yang sama dan masih kepadamu rindu itu. Entahlah, ini sudah yang keberapa kalinya aku menuliskannya untuk kamu. Masih pada topik yang sama. Dan selalu begitu. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana caranya agar rindu ini tersampaikan dengan baik padamu. Atau bisakah beri tahu aku bagaimana caranya?
Setiap kali aku terjaga selalu merasakan ada yang kurang. Masih diwaktu yang sama, dan dihangatnya mentari pagi. Aku ingin mendengarmu kembali. Ya, aku ingin mendengarmu. Itu saja sudah cukup untuk mengawali pagiku. Tak lebih. Bolehkah? 

Aku dan kamu selalu menghabiskan waktu bersama. Tetapi tidak untuk pergi jalan berdua. Tidak untuk makan malam dengan nuansa yang super romantis. Tidak juga untuk bertemu. Apalagi untuk saling menatap. Menelusup masuk kedalam matamu. Bukan seperti itu. Ya, kita tidak menghabiskannya untuk itu. Kita hanya saling mendengarkan sepanjang malam. Apa kamu pernah menghitungnya? Sudah berapa malam yang kita lewati bersama? Hingga langit fajar datang kita tak menyadarinya. Kalau tidak salah, setelah kejadian waktu itu. Kita sudah melewati 1 bulan lebih untuk menikmati malam dan tak mengacuhkan waktu. Apa kamu sadar akan hal itu? Seperti itu lah kita menghabiskan waktu bersama.

Bahkan, itu saja tidak cukup untuk membuat RINDU ini tenang. Hingga detik ini, detik disaat aku menuliskan tentang RINDU ini. Memaksaku untuk berbisik padamu, “BAHWA AKU RINDU KAMU, SELALU”. Setidaknya hanya dengan cara seperti ini aku bisa menyampaikannya padamu. Lewat bisikan ini, yang tak sempat terdengar oleh mu. Namun aku menuliskannya, agar kamu tahu. Setidaknya membuatmu hanya sekedar tahu. Seperti itu saja sudah cukup untukku.

“Kamu tahu…?? Mendengarmu saja sudah lebih dari cukup untukku. Apalagi nanti, jika aku bisa bertemu dan melihat binar matamu. Aku yakin akan lebih menyenangkan”.

Apa kamu mengizinkannya? Jika aku ingin lebih dalam masuk ke hatimu. Apa kamu akan memberikannya ruang? Apa kamu mengizinkannya? Jika aku ingin menelusup jauh lebih dalam melalui binar matamu. Apa kamu akan memberikannya? Jika aku ingin melihat senyumanmu itu lebih lama. Tidak sekarang, tapi nanti.

“Ketika mata ini kembali terbuka. Ketika mentari mulai menampakan binarnya. Ketika udara pagi mulai menelusup poriku. Ketika itu lah, aku merasakan RINDU yang teramat sangat”.