Jumat, 30 Mei 2014

Aku kamu, satu. (Rindu dan Kenangan)



here



Aku kamu, satu...

Seperti yang kamu tahu. Aku adalah satu yang selalu menulis tentang kamu. Kamu adalah satu yang selalu ada dalam ingatanku.


Lalu. Aku adalah satu yang selalu merindumu. Kamu adalah satu yang selalu menjadi candu. Aah, selalu seperti itu. Rindu dan candu melekat erat dalam diri seperti akar pohon yang tegas mengikat pada tanah.


Aku kamu, satu.


Aku adalah satu yang menerka-nerka. Kamu adalah satu yang  tak sempat terjamah.

Aku adalah satu cerita. Kamu adalah satu kenangan. Bersahutan. Memanggil dan mengulang cerita. Satu kenangan dan satu cerita. Kita.


Aku adalah satu yang selalu menahan rindu. Kamu adalah pemilik jarak yang membentang.

Aku adalah satu pencerita. Kamu adalah satu yang selalu aku ceritakan pada pemilik malam.

Hanya ada satu aku, satu kamu.


Satu cerita.

Satu kenangan.

Satu ingatan.


Dan satu yang selalu menjadi arti untuk aku dan kamu


Rindu dan Kenangan. 



Dear Jo,

Langit disini sudah mulai gelap. Padahal ini belum waktunya sang malam membentang. Awan-awan putihpun sudah tak tampak lagi berarak. Malah awan hitam seperti tinta hitam yang mengelamkan kertas putih. Langit disini bersiap mengeluarkan tetesannya. Andai kamu ada disini Jo. Mungkin kita bisa menikmati secangkir teh hangat dan beberapa potong roti bakar kesukaanmu. Andai saja kamu disini. Mungkin juga aku dan kamu bisa merangkai kata bahkan juga nada bersama gitar tua yang selalu menjadi favoritmu itu. Menikmati hujan sendiri itu sungguh tidak mengasikkan Jo. Jika dilangitmu saat ini juga sedang menghitam dan bumimu  basah, adakah kamu mengingatku? Seperti aku mengingatmu dan berandai-andai kamu masih disini menemaniku. Duduk sendirian seperti ini saat hujan sungguh tidak mengenakkan Jo. Suasana yang aku rasakan bukan senang seperti anak-anak yang riang menginjakkan kaki diriak-riak basah itu. Mereka berteriak senang berlarian kesana kemari. Diluar memang ramai oleh teriakan gaduh mereka. Tapi aku disini seolah terkungkung bersama dinginnya senja, dan seolah sedang memutar film yang berkali-kali sudah aku lihat dan imajikan. Kenangan. Kenangan bersamamu.

Seperti yang kamu tahu, Jo. Ini adalah surat pertama yang aku tuliskan untuk kamu setelah hari itu. Hari dimana jarak memang menjadi peran utama yang benar-benar memisahkan aku dan kamu. Setelah hari itu hujan tak lagi seindah dan senyaman sewaktu kamu masih disini. Hujan berubah menjadi momok yang selalu ingin aku hindari. Andai saja aku punya kuasa untuk mengatur cuaca ini. Hujan ini selalu menghadirkan kenangan-kenangan itu tanpa aku minta. 

Dan surat ini adalah sapaan pertamaku untukmu. Benar bukan? Apa kamu disana menunggu kabar dariku? Kita terlalu lama saling diam, Jo. Akhirnya, aku memberanikan menulis surat ini untuk kamu. Sebab aku tak tahan lagi mengekang rindu yang sudah bergelayut dipintu hati.

Rindu dan Kenangan

Menari bebas bersama rintik hujan diluar sana.

Lalu, apa kabar gitar tuamu itu? Masihkah selalu kamu petik? Atau adakah suara lain yang mengikutimu bernyanyi bersama senja? Jika ada, apa suaranya sumbang seperti suaraku? Ceritakan padaku.

Menyebut namamu seperti mengundang suara dentuman yang mengejutkan hati. Selalu begitu. Jadi, kapan kamu pulang? Banyak hal yang ingin aku ceritakan. Seperti taman yang kita tanami bunga-bunga kini sudah merekah yang setiap pagi aromanya selalu tercium sampai kamarku. Seperti rak buku yang kamu buatkan untukku sudah melebihi kapasitas untuk diisi. Dan mungkin aku butuh untuk kamu buatkan sekali lagi. Seperti cangkir teh kamu yang mungkin juga rindu untuk diangkat olehmu. Aku rindu duduk bersama diteras yang selalu menjadi tempat favorit kita itu. Duduk menikmati lembayung ditemani petikan gitar tua milikmu. Pintu itu jika bisa bicara mungkin juga berkata, aku merindukan ketukan darimu. 

Pulanglah. Dan lantukan lagi nyanyian senja itu untukku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar