Kamis, 28 Juni 2012

Muara (Tak) Berujung


Membicarakan orang dalam satu paket, yakni sahabat. Apa kamu tahu satu paket itu apa? Setidaknya ini kognitif yang aku bangun untuk mendeskripsikan kamu yang tak semu. Meski terpisah jarak.

Dia tak hanya membawa tawa kedalam harimu. Tapi juga datang bersama rindu, rindu yang kadang kamu tak pernah tahu. Entah itu rindu ingin bertemu, sekedar ingin menyapa atau yang lainnya.

Ada hati yang tanpa sadar menerimanya. Membukakan jalan untuknya, masuk. Bersama rindu yang mulai bersemayam.

Bukan hanya bahagia yang kamu bawa (sekarang), tapi juga bersama kata yang terpatri tanpa janji ia tulus tanpa berkeinginan untuk mengakhiri "SAHABAT". Ya kita saat ini menyebutnya sahabat, apa itu juga akan berlaku nanti?

Jika suatu waktu beralih ingin menjadi lebih.

"Kenapa kita bisa kenal?" aku bertanya kepadamu. Lalu kamu menjawab "Sederhana!" imbuhmu singkat dalam pesan itu. Sejenak aku larut dalam perkataanmu yang singkat itu. Membuat aku berfikir, siapa sosok kamu itu?

Kita bercanda, lalu diam. Hening. Aku merasakan kehilangan dalam jeda itu. Secepat itukah tawa itu berlalu?

Lalu aku kembali menganggumu dengan tanya tiap waktu. Tak peduli itu akan mengusikmu, yang aku tahu aku hanya ingin begitu.

Maaf jika kamu tidak menyukai sikapku ini. Yang katamu aku ini aneh. Belum sampai seminggu kenal kamu, tapi aku sudah merasa nyaman berbagi cerita denganmu. Mungkin ini maksud artian "Sederhana" darimu. Dan aku memahaminya.

Lebih tepatnya menikmati. Maaf jika aku salah arti. Itu yang kurasa setidaknya saat ini.

"Ada rasa takut tentunya yang juga menghantui, terlebih jika kita (nanti) terjebak pada suatu muara yang tidak berujung." Ujarmu singkat, padat dan jelas.

Seperti biasa, lalu dengan candaan aku menyambung ucapanmu itu, "Gak mungkin, kita kan jauh.".

"Katanya nyaman itu sederhana!" sergahmu.  "Jauh? Itu lebih menakutkan lagi."

"Kenapa?" tanyaku.

"Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa kehilangan itu nyata. Dan yang nyata itu akan hilang. Kehilangan itu gak akan pernah tahu kapan datangnya."

"Jangan ngomongin tentang kehilangan!" sergahku.

Lalu kamu kembali bicara "Suatu saat kamu akan tahu dan berada pada suatu waktu, tanpa sadar tahu-tahu kehilangan."
"Sahabat itu gak akan hilang." sergahku. Dan tidak tahu mengapa, membaca pesan singkat itu ada perasaan yang benar-benar aku takuti, karenamu.

"Oke, tetap pada zona sahabat ya. Tidak boleh lebih!" katamu. Aku tersenyum membaca itu.

"Tapi, kalau nanti........." aku tercekat tak ingin melanjuti.

"Apa?" sambungmu singkat.

"Gak,.. Gak!" upayaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Bicarakan dari sekarang, biar dicari solusi. Agar nanti kita tidak menyesalinya." kamu melanjuti.

"Seperti yang kamu bilang diawal. Terjebak dalam muara yang gak berujung." lanjutku.

"Jujur hati!, itu lebih bijak. Gak ada yang tahu kapan rasa itu singgah dan kapan pergi. Iya kan?" ucapmu.

"Iya, tapi aku takut jika suatu saat aku yang merasakannya lebih dulu." celahku.

"Gak apa, seperti yang kamu bilang, rasa itu anugerah. Jadi nggak akan ada yang salah. Mungkin saja, kitalah yang kurang belajar memahaminya. Dan mudah-mudahan jika itu memang terjadi, gak ada hati yang akan tersakiti." Kamu memberi jawaban yang menenangkan hati.

"Begitu cepat kita membicarakan hal ini". Lanjutku.

"Harus, belajar mendewasakan perasaan, hahaha.." terangmu.

Entah dari mana ini bermulai. Kita tak pernah bertemu. Lebih tepatnya belum genap seminggu obrolan ini. Obrolan yang hanya sebatas dinding maya. Yang tak pernah bersuara, tapi iramanya seolah dekat. Dan ada rasa nyaman yang kudapat ketika aku berbagi denganmu. Nyaman, itu sudah cukup untuk mewakili itu semua. Maaf jika aku selalu hadir dalam waktu yang tidak kamu inginkan.


8 komentar:

  1. salam mbak.. ingin melapor bahwa namanya saya sematkan dipostingan terbaru.. :D

    BalasHapus
  2. Waw! post yang menarik :D

    apa ini fiksi?

    BalasHapus
  3. apa ini fiksi?? :)
    *semoga bukan* hahaha

    BalasHapus
  4. Membicarakan kamu itu tak pernah menguras imajinasi...
    Great post. :)

    BalasHapus