Sabtu, 30 Juni 2012

kamu dan hujan


Seperti bumi yang merindukan hujan dalam beberapa waktu di musim kemarau. Kering, seperti itulah adanya hati jika diumpakan seperti bumi yang menahan panasnya matahari yang membuat seisinya sungguh merindukan hujan walau hanya sesaat. Bumi menunggu ketika tetesan-tetesan yang tumpah dari langit itu memecah sunyi, membuat udara semakin sejuk, membiarkan pohon menari untuk beberapa saat. Memberikan kenyamanan, kesejukan, bahkan memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk kembali meneruskan tidurnya dalam dinginnya hujan itu.
Yaa, menunggu hujan. Seperti itu lah aku menunggumu ketika terjadi perpecahan yang tak kuinginkan. Menunggu dalam kurun waktu yang menurutku sungguh-sungguh bisa membuatku mati. Mati dalam kekeringan dan panasnya hatimu saat itu. Aku hanya bisa diam, termenung, menyesali. Hujan malam itu seakan hujan yang terakhir yang kurasa dalam duniaku. Hujan itu pun tak mampu memberikan ketenangan malah sebaliknya.
Hanya mampu menangisi penyesalan kala itu. Dan ketika aku tersadar, waktu itu telah terlewati, musim kemarau itu berlalu diduniaku. Hujan itu kembali, kembali membawa ketenangan, membawa senyuman, membawa kedamaian disini, diduniaku. Seperti kata pepatah “Jika ingin melihat pelangi, maka kamu harus menunggu hujan selesai untuk menikmati keindahannya”. Hujan malam itu memberikan ku kesakitan yang teramat sangat telah berlalu, berganti dengan hujan dimusim baru hatiku. Tak hanya tetesannya yang membuatku nyaman, melainkan bias dari tetesannya itu memperlihatkan keindahan. Hujan itu memberi pelangi, pelangi terindah yang pernah kunikmati dengan inderaku.
Waktu itu kembali, semua kenangan terburuk musnah tersapu karena tetesanmu, Terimakasih telah menyapu hal itu dari gundahku. Kamu menyiraminya dan membasuh semua keluh yang tersisa. Bahkan saat ini semua omongkosong tentangnya hilang, benar-benar hilang. Hujan benar-benar membawa nya pergi, dan membiarkan omongkosong itu terbang terbawa angin dan menghilang tanpa bekas.
Kamu (hujan) tak benar-benar pergi. Kamu (hujan) benar-benar tak meninggalkanku. Aku bahagia bisa menikmati tetesanmu kembali. Walau hujan itu turun kebumi tidak hanya untukku melainkan untuk semua umat dimuka bumi ini, memberikan ketenangan, kesejukan. Walau tak pelak ada yang membenci hujan. Hujan itu tidak egois, seperti kamu. Apa kamu (hujan) tahu? Bahwasanya aku selalu menunggu tetesanmu itu menyentuh bumi. Menyentuh bulir-bulir kegelisahan yang masih tertanam didasar hati.Setidaknya kamu mampu menyapu bersih sedikit demi sedikit kegelisahan itu.
Terkenang ketika emosi itu menyeruak kepermukaan ketika aku memohon kepadamu “tolong, (hujan) jangan pergi…” Lantas kamu menjawab “tidak… aku tidak pergi. Hanya saja…. Hanya saja aku akan menghilangkan sedikit demi sedikit memori tentangmu.” Hujan apa kamu tahu? Kata-kata mu itu bagaikan suara gemuruh yang mengguncang hati. Aku terhenyak, larut dalam lamunan. Mencoba mengingat kembali apa yang telah aku lakukan beberapa waktu belakangan ini. Dan tersadar aku salah. Aku bodoh, hanyut dalam omongkosong yang aku bangun sendiri kala itu. Bagai terhipnotis dikegelapan. Sudah gelap, tak tahu mau berpegang kemana. Hujanmu saat itu memang mengering, tetesannya bahkan tak terlihat lagi. Kamu meninggalkanku sendiri, memang betul-betul sendiri.
Aku berharap tetesanmu kala itu mampu menghapus garis yang melingkar itu, setidaknya memudarkannya sehingga aku dapat menembusnya. Dan berhasil keluar. Tapi kenyataannya, TIDAK. Kamu memberikan pelajaran tentang ketegasan. Ketegasan dari setiap tetesanmu itu. Ya, tetesanmu mempertegas bahwa kamu ada untuk memberikan kenyamanan, memberikan kesejukan untuk seluruh isi bumi. Bahkan dalam marahmu sekalipun, tetap memberikan ketegasan kepada umat manusia. Memberikan pelajaran tentang pentingnya menjaga lingkungan. Ya lingkungan itu aku umpamakan hati. Hati yang harus dijaga agar tidak dibanjiri dengan kemarahan. Aku harus menjaganya sendiri untukku.
Aku hanya bisa bergumam “i remember it clearly, I made a big mistake, i'm so sorry just it i don't know what i want to do. Please don't go away. Sekali lagi saat itu kamu (hujan) hanya diam, diam dan diam. Dalam beberapa waktu kamu kembali berbicara ”aku harus bersikap seperti ini, harus..!! ini demi kamu dan untuk kamu. Kamu harus bisa melepaskan semua kenangan itu.
Ya, itu sepenggal kisahku tentang kehilangan sosok kamu (hujan) dalam beberapa saat yang hampir membuatku mati kekeringan diteriknya panas emosi yang menyeruak kala itu. Semua musnah ketika sapaan hangatmu kembali hadir dipenghujung februari. Tetesannya kembali terasa, tetesannya kembali menyejukkan, tetesannya kembali membawa rasa bahagia disini. Walau aku dan kamu (hujan) harus memulai nya dari awal lagi. Tapi tidak mengapa, dengan kembali nya hujan setidaknya duniaku tidak akan kekeringan. 
Hanya antara kamu dan hujan selalu terselip pelajaran bermakna tentang kasih putih. Hanya antara kamu dan hujan selalu ada rindu disetiap riak yang terbentuk setelah hujan. Hanya antara kamu dan hujan selalu ada pancaran bias pelangi yang engkau ciptakan untukku Hanya antara kamu dan hujan yang selalu hadir dalam setiap waktu aku memikirkanmu meski dalam sendiriku.Dan aku selalu menunggumu (hujan) disetiap musim berganti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar