Senin, 11 Juni 2012

Kompromi antara Logika dan Hati

Datang lagi kelanjutan dari :


***
 
Kamu tahu rasanya sulit memepertegas hati? Apa kamu tahu rasanya ketika logika berkata “tidak” dan hati berkata “ayo temui dia”? Itu sulit, sangat sulit. Kenapa aku kamu dan dia dihadapkan dalam satu kekacauan ini. Ya, kekacauan hati yang merengkuhkan jiwa kita.

“Zie, kamu tidak harus seperti ini. Ayo temui dia. Saat ini dia membutuhkan mu”. Suara itu muncul. Bergema, tapi aku berusaha menolak. Aku tidak tahu nantinya apa yang harus aku lakukan jika aku bertemu kamu, Ariani. Tapi, kenapa? Kenapa? Kenapa suara itu terus menggema disini (hatiku). Aahh, aku berusaha keras mengabaikannya. Tapi tetap saja suara itu mendobrak logika ku. Aku saat itu yang merasa ingin bebas sesaat tanpa larut dalam kata yang tercekat. Tapi, aku tidak bisa. Suara itu muncul dari relung hati ini. Apa yang harus aku lakukan?

Berulang kali aku mondar-mandir diruangan kamar ku ini. Seketika aku terpaku melihat figura yang membingkai kita, “Aku dan kamu, Mentariku.” Apa kamu masih ingat dengan figura mini itu? Yang kamu berikan ke aku saat kita duduk ditaman yang sering kita singgahi ketika kita merasa lelah. Hanya untuk tertawa dan membuang rasa lelah bersama. Kita lakukan itu, dulu. Dulu sebelum aku melupakan sosokmu, sesaat. “Maafkan aku, Ariani”. Seketika logika luluh, tak mampu melawan rasa hati ini. Namun, aku masih mencoba untuk kukuh tidak mengikuti. 

“Apa yang kamu lakukan? Kamu itu lelaki, Zie. Jangan bersikap linglung seperti ini. Tegaslah terhadap hatimu.” Logika ku mulai melawan. “Tapi kamu tetap tidak bisa seperti ini, Zie. Temuilah dia. Lihat senyuman yang terbingkai difigura itu. Tidakkah kamu ingin melihatnya? Senyuman khas dari mentarimu. Lihat dia Zie, Lihat dia..!!! 

Aku semakin kalut ketika hati dan logika ku tak menyatu. Aku terpaku melihat kita, Ariani. Kenapa perasaan ini tiba-tiba muncul. Keinginan untuk bertemu denganmu, bersenda gurau seperti dulu. Kamu dimana, Ariani? 

Tanpa pikir panjang lagi aku menurut kata hati ku. Ya, kali ini aku mengabaikan logika ku. Tak ingin ada yang terlewati lagi, setelah senja itu. Aku tak ingin kehilangan lagi, mentariku. Aku mengambil telepon genggam ku yang tergeletak disudut meja kamarku. Mencoba menghubungimu.

“Apa lagi ini? Nomor kamu susah dihubungi, Ariani.” Kemana aku harus mencarimu. Berulang kali aku mencoba menghubungi mu, tapi tetap saja. Tidak bisa. Logika dan hati saat itu telah berdamai, mereka mencarikan solusi untukku. Mereka membantuku untuk menemukanmu, menemukan sosok mentari dihidupku. Akhirnya aku memutuskan untuk mencarimu ke taman, ya ke taman kota itu. Sebuah tempat yang sering kita datangi. 

Tanpa pikir panjang lagi aku melangkahkan kaki keluar dari ruang kamar ini. Dengan cepat aku mengambil mantelku yang tergantung didekat pintu keluar. Membalutkannya ke tubuh ku. Hari ini Tokyo menghadirkan udara yang amat dingin. Dengan gontai aku langsung berjalan ke arah taman itu.

Sesampainya disana, inderaku langsung mencari dan mencoba menangkap dimana kamu berada. Ternyata kamu disana, Mentariku. Kamu masih disana, duduk sendiri. Seperti yang sedang kamu lakukan, dulu ketika menungguku. “Apa kali ini kamu masih melakukannya untukku? Untuk menungguku...?” kata itu mengalir dari dalam hati.

Aku berjalan ke arahmu, kali ini bukan dari arah depan mu, aku berjalan dari arah belakangmu. “Apa kamu merasakan kehadiranku saat itu, mentariku”. Semua kembali normal, tidak ada yang berbeda. Terbayang saat kita masih sering bertemu dibangku taman itu. sepertinya hanya aku dan kamu yang menjadi pendatang tetap ditaman ini. Lalu duduk dibangku taman itu yang entah sejak kapan berdiri kokoh disana. Mungkin ia sengaja menungguku kita. Menunggu sepasang sahabat yang selalu berdialog sepanjang sore ditaman itu, tak hanya itu tapi kita juga tertawa. “Apa mungkin dia ikut tertawa ketika kita tertawa…??” pikirku. 

“Are you okay..?” sahutku. Seketika kamu menoleh kearahku. Aaahh, lagi-lagi mata itu, sinarnya. Membuat jantung ini seolah berhenti. Aku harap kamu tidak menangkap gerak ku yang tercekat karena matamu itu. “Ada apa denganmu, mentariku? Apa kamu tidak merasakan dingin ini? Decakku dalam hati. Aku memberikan mantel yang membalut tubuhku ke kamu. Mencoba menembus kesalahan dan sempat memberikan awan mendung dilangit mentariku. 

“Ariani, apa yang kamu pikirkan saat ini?” aku mencoba menebak-nebak apa yang ada dipikiran mu, tapi tetap saja aku tidak bisa. Kamu tahu apa yang hendak aku lakukan saat ini, dihadapmu. Aku ingin memeluk mu. Tapia pa yang terjadi? Seketika aku masih membaca ada sekat yang menghalingku. Entah itu darimu, atau dari diriku sendiri. Senyuman mu itu membuyarkan semua tanya, seolah aku menangkap bahwa hatimu telah membaik. 

Aku ingin kembali merasakan senja bersamamu, Ariani. Apa kamu juga menginginkannya? Sesaat kita larut dalam diam. Sampai ketika kamu mulai mempertanyakan hal yang seharusnya tidak kamu pertanyakan secepat itu. “Kok kamu ada disini? Nggak kerumah Muri?” ujarmu. Kamu tahu apa yang terjadi dengan diriku? Aku terhenyak mendengar pertanyaan mu itu. Apa aku tidak boleh menghampirimu? Apa aku tidak boleh menemuimu saat seperti ini? Jangan lihat aku sebagai seorang yang pernah mengabaikanmu, tapi lihat aku sebagai orang yang selalu ingin menemuimu. 

Tak ingin terlihat kekacauan yang terjadi dengan diriku, aku pun menjawab “ dia tadi kirim pesan lagi, dan dia tidak ingin diganggu saat ini, ia ingin sendiri.” Dan aku menangkap seraut kecemasan dari wajahmu, sesaat setelah aku menjawab dari pertanyaan mu itu. Ya, kamu masih berfikiran bahwa hal ini terjadi karena cerita senja itu kan? Ketika alam yang membawa kita untuk bertemu setelah terjadi jarak beberapa saat. Kamu masih saja mempersalahkan dirimu sendiri. Aku tegaskan sekali lagi, Ariani. Dalam hal ini tidak ada yang salah. Dan kita tidak perlu membuat celah seperti ini. 

Kamu diam, tertunduk. “Andai kamu tahu, bahwa aku tak ingin melihat kamu seperti ini. Aku ingin melihat senyum mu itu, dan binar matamu, Ariani”. Hanya itu. Tolong jangan bersikap seperti itu, setidaknya dihadapanku. 

“Kamu masih marah kepadaku??” setengah berbisik. Kamu menoleh kearahku, lalu “Siapa yang marah? Memang kelihatan gitu kalau aku sedang marah?” Ya kamu memang tidak terlihat seperti orang marah. Tapi kamu kecewa kepada ku. Maafkan aku sekali lagi, Airin. Kata ku membatin. Seharusnya bukan pertanyaan itu yang keluar. Benar bukan? Aku tahu kamu letih dengan permasalahan yang mengikat kita seperti ini. Tapi kita harus menyelesaikannya bersama. Jangan tinggalkan aku sendiri dalam permasalah ini. Kita harus tetap bersama agar semuanya jelas. “Apa kamu dapat mendengarkan bisikan suara hati ini, Mentariku?

Lalu aku kembali berujar “Jika aku salah aku minta maaf, Rin. Kamu dan dia penting untukku. Meski aku tahu aku tidak cukup adil dalam memposisikan diriku untuk kalian berdua. Layaknya udara dan mentari yang memberikan kehidupan untukku.” Lalu kamu seketika memberhentikan perkataanku itu. “SSsstt…. Aku baik-baik saja, Zie.” 

Dan lagi aku tercekat oleh mu. Terlebih saat itu juga kamu memintaku untuk menemuinya. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dihadapmu. Kenapa kamu memaksa ku seperti ini? Andai kamu tahu aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu, itu saja. Kembali bercerita seperti dulu. Tak ada celah yang memisahkan kita. Apa aku harus menyesali pertemuan ini juga? Sama sepertimu? Áyolah Rin, bantu aku menghadapi ini. Jangan paksa aku.

Tapi tetap saja, aku selalu tidak bisa menolakmu. Terlebih dengan kata “Temui dia. Untuk aku, sahabatmu ini.” Yaa.. kamu benar, kita sahabat. Andai kamu tahu ada perasaan yang mengangguku setelah kejadian sore itu. Tapi kamu tidak perlu tahu, aku tidak ingin menambah kegundahanmu itu. aku tidak ingin awan mendung itu menyelimuti langitmu lagi. Dan aku inginkan kamu tersenyum kembali setelah hari ini. Jika kita bertemu kembali.
“Baiklah aku pergi dulu.” Ya kita sama berpisah ditaman itu. Taman yang mempertemukan kita. Taman yang menyediakan semua fasilitas waktu, senang, bahkan saat seperti ini. Kita pun berlalu.

***
Aku menemuimu karena nya, Amuri. 

Aku berjalan ke arahmu, bukan untuk berbagi duka. Aku ingin melihat tawa itu terbingkai lagi diwajah manis mu itu. Tak usah kamu hiraukan atas perubahan diriku. Yang aku mau senyuman mu itu kembali lagi, wahai pemilik jiwaku. Lihat aku.

Apa yang terjadi dengan kalian berdua? Beri tahu aku rasa nya jadi kalian. Ceritakan ke aku apa yang tak kalian pahami? Mari kita bersama menyelesaikan masalah ini. Jangan buat aku seperti orang buta yang tak tahu arah, tanpa ada pegangan. Kita ini “BUMI”, aku tak ingin ada yang terlewati. 

Apa yang terjadi denganmu, sayang? Apa gerangan yang membelenggu hatimu itu? Beri tahu aku. Kamu datang menghampiriku, lihat senyum mu itu sudah sedikit memberikan ketenangan untuk jiwa ini. 

Memelukmu saat ini, tak lain dan tak bukan mengingatkan ku pada dirinya. Ya dirinya yang berjasa memberikan kita sebuah rasa hingga saat ini.

Aku tak seharusnya seperti ini. Aku tak seharusnya memiliki rasa yang tak seharusnya aku nikmati. Aku seharusnya bisa mempertegas diri ini, Amuri. Karena aku lelaki. Lelaki yang seharusnya tak begini, membiarkan hati yang menguasai jiwa. Aku lelaki yang tak seharusnya begini.

Amuri, tolong jangan siksa aku dengan kesedihan itu lagi. Aku tak ingin menyesalinya. Sungguh.
Lihat senja masih setia berarak bersama jingga. Kamu menyukainya bukan?? Meskipun hari ini kita tidak menikmatinya dipantai itu seperti biasanya. Tapi aku menangkap secercah bahagia yang terpancar diraut wajahmu itu, Amuri.

Jangan hilangkan momen seperti ini. Dan kamu jangan pinta aku untuk tidak menghubungimu lagi. 

Maafkan untuk rahasia yang aku balut hari ini. Aku menemuinya (Ariani) hanya untuk menembus luka yang pernah ada. Maafkan aku, bukan untuk membiarkan kamu merasa terbebani. Aku ingin ada kita. Bukan hanya ada kata, Aku, kamu dan dia.

Jika ada rahasia yang terbalut lagi setelah ini, aku tidak tahu pasti. Mungkin rahasia itu tak perlu dibagi. Membiarkannya berdiri sendiri dengan kata kunci yang hanya ia yang tahu. Bukan untuk kita bagi jika itu menorehkan luka untuk kita “Bumi”.

***
 NB : tetap setia ngikutin kita bertiga yaaa :D tunggu kelanjutannya dari karakter Uzay sebagai Airin, Ainiza sebagai  Amuri, dan saya sendiri sebagai Zie. Semoga menyukainya *peluk





Sabtu, 09 Juni 2012

Aku, Kamu & Dia

Sedikit perkenalan. Cerita ini adalah hasil dari tiga orang penulis yang bertemu di jejaring sosial. Mencoba mengkolaborasikan pemikiran  dan tulisan dalam satu gagasan. Mungkin untuk melengkapi cerita antara satu dan yang lainnya, saya rekomendasikan pembaca untuk mampir pada blog ini Tak Sadar (Aku Kehilangan) dan Zie, rasanya hatiku sesak sekali (sungguh). Selamat menikmati teman-teman :D *peluk

***

Ya kita bertiga bertemu tanpa direncanakan. Alam yang mempertemukan kita.  Seperti tuhan menciptakan bumi ini. Individu, alam, angin, hujan, panas, fajar, senja, malam, bulan, bintang, ya semua ciptaan-Nya itu pasti memiliki arti tersendiri bukan. Yang tak lain hal itu pasti akan berhubungan secara tak langsung “saling melengkapi”. Seperti yang sering kita lakukan saat senja dipantai itu, menikmati pantai dan ombaknya yang berderu ditambah burung-burung kecil yang terbang mengitari permukaan air laut senja itu.

Indah” Kata mu. “Ya indah, bahkan lebih dari indah, Amuri” aku menjawabnya dalam hati, dan melemparkan senyuman ke kamu. Dan kamu pun tersenyum. Tatapan itu, aku mengerti. Sangat mengerti. Tak perlu kamu ucapkan pun, aku sudah tahu. Aku memiliki hal yang sama untukkmu.
Tentang kamu yang memberikan lebih dari sekedar kenyamanan saat bersamamu. Aku menikmatinya, aku selalu merindukan senyuman manja darimu itu. Selalu. Ya, sejak pertama kita bertemu hingga saat ini. 

“Amuri, lihat aku. Aku disini karena mu. Dan akan selalu begitu” Decakku dalam hati.

Aku tak perlu mengatakan ini padamu, karena aku ingin kamu tak hanya tahu, tapi juga memahami isi hati ini. Rasakan lah genggaman tangan ini, rasakanlah setiap waktu yang selalu aku habiskan bersamamu. Ingat hanya bersamamu. 

Aku mencintaimu lebih dari yang sekedar kamu tahu. Lihatlah langit senja itu, seolah sengaja melukiskan indahnya untuk kita hari itu. Apa kamu menyadarinya?

Hingga terjadi pertemuan singkat antara aku kamu dan dia, Sore itu.

Dan tentang persahabatan ini. Tidak ada yang salah diantara kita. Baik itu kamu, aku dan dia Ariani. Kita ini seperti “Bumi”. Ya bumi yang memberikan kehidupan untuk semuanya. Kita hidup, tumbuh, mati, hilang di planet ini. Ya kita adalah “bumi”. Lihat kamu seperti udara yang selalu aku hirup. Aku sebagai yang hidup didalamnya. Dan dia Ariani bagaikan mentari yang memberikan sinarnya. Ya kita sama-sama saling melengkapi. Apa jadinya aku tanpa ada udara yang akan aku hirup? Lalu apa jadinya jika mentari tak bersinar? Bisa kamu bayangkan, bukan?
Kalian berdua sama pentingnya. 

“Ariani, maafkan aku untuk hati yang tak dapat memahami. Maafkan aku untuk hati yang mungkin memberikan harapan.”  Kapan kita akan bertemu lagi setelah sore itu? Aku ingin memperjelas semuanya. 

Kamu sahabatku, dan aku menyayangimu “mentariku” tetaplah tersenyum layaknya setiap pagi engkau bersinar. Jangan biarkan mendung itu menguasai langitmu. Berilah kehangatan dibumi ku, lagi. Kamu tak perlu menghilang. Karena aku membutuhkanmu sebagai sahabatku.

Maafkan untuk hati yang telah memberikan jarak sesaat. Hingga kakipun tercekat dan terikat. Tak sanggup melangkah. Karena ada hati yang terluka. Maafkan untuk hati yang tidak bisa memahami mu. Layaknya kamu ke aku. Tapi aku beruntung memilikimu sahabatku. 

Terimakasih telah mengantarkan sosok penyegar kedalam kehidupanku. Itu kamu mentari-ku kamu membawanya dan mengantarkannya ke kehidupanku. Hingga saat ini aku hidup dengan cintanya, itu karena kamu. Semoga kamu memahami.

“ Jangan paksa aku untuk memilih. Karena kalian begitu berarti, disini. Apa jadinya aku tanpa kamu (udaraku)? Lalu apa jadinya jika aku kehilangan dia (mentariku )? Tidak ada yang salah 
dengan rasa. Itu anugerah”. 

***

NB : Akhirnya kita mengulanginya lagi Sarnisa Anggriani Kadir dan ini pertama kalinya duet bersama Fauzy 'uz-ay'. Terimakasih untuk kalian yang telah menawarkan aku project ini. Sulit ternyata menjadi orang lain didalam cerita ini, terlebih untuk memilih. Dan semoga kalian menyukainya. Maaf mungkin karakter nya kurang terkesan seperti apa yang kalian harapkan. :D

Jumat, 08 Juni 2012

Aku mengikuti jejakmu dalam diam

this pict from here
Hai jiwa pemilik rindu. Apa kabar kamu?

Masihkah pada rindu yang sama? Masihkah pada ruang yang sama?

Aku mengikuti jejakmu dalam diam. Hilang sesaat bukan berarti aku tak memperhatikanmu. Hanya saja aku melakukannya diam-diam. Kali ini dalam bayang. Kenapa dalam bayang? Karena bayang mampu menggambarkannya dengan sempurna. Pantulan apapun itu. Bayang tak pernah berbohong terhadap apa yang ia pantulkan. Hanya saja itu tergantung visual kita yang menangkap. Begitu pula aku melakukannya untuk kamu, wahai pemilik hati. Semoga kamu mengerti.

Aku mengikuti jejakmu dalam diam. Semoga saja kamu tidak menyadari. Karena aku suka begini. Tak ingin kamu tahu. Semoga saja kamu tak mencari. Karena aku selalu mendatangimu. Berdiri dekat denganmu. Sampai-sampai aku selalu hafal dengan setiap detailmu.

Aku mengikuti jejakmu dalam diam. Dalam hujan kamu tertawa senang, bahkan tersenyum. Aku melihatnya. Ketika jemarimu menyentuh bulir demi bulir tetesan itu. Lalu tertawa. Aahh, aku menikmati tawamu. Aku tahu kamu menyukai hujan. Benar bukan? Buktinya kamu tidak menyadari keberadaanku yang mengikutimu. Aku tahu bayang tak dapat hadir saat hujan turun. Hanya berupa bias-bias yang tak jelas keberadaannya. Tapi aku dekat denganmu.

Aku mengikuti jejakmu dalam diam. Bukannya aku ingin menakutimu. Hanya saja aku tak ingin terungkap. Melihatmu dari sudut hatiku saja sudah menyenangkan. Apa lagi nanti bisa kamu temukan aku. Itu lebih dari menyenangku, untukku. Aku tak ingin terlihat. Aku hanya ingin untuk diingat. Kapanpun dan dimanapun kamu berada. Bahwa aku selalu ada mengikutimu. Bahkan ketika kamu menangis bersama hujan. Aku melihatnya, aku menemanimu. Hanya saja keberadaanku tak terungkap. Bisa kamu rasakan, aku?

Aku tak lebih dari sebuah bayangan yang tak dapat kamu rekam. Tapi aku ada untuk kamu. Menemani, bahkan selalu ada bersamamu. Hanya saja kamu tidak pernah memperhatikan aku. Melewati semua tentangku. Tak apa. Aku hanya bayang yang sesaat saja dapat hilang. Jika kamu inginkan aku untuk menghilang.