Datang lagi kelanjutan dari :
***
Kamu tahu rasanya sulit
memepertegas hati? Apa kamu tahu rasanya ketika logika berkata “tidak” dan hati
berkata “ayo temui dia”? Itu sulit, sangat sulit. Kenapa aku kamu dan dia
dihadapkan dalam satu kekacauan ini. Ya, kekacauan hati yang merengkuhkan jiwa
kita.
“Zie,
kamu tidak harus seperti ini. Ayo temui dia. Saat ini dia membutuhkan mu”. Suara
itu muncul. Bergema, tapi aku berusaha menolak. Aku tidak tahu nantinya apa
yang harus aku lakukan jika aku bertemu kamu, Ariani. Tapi, kenapa? Kenapa? Kenapa suara itu terus menggema
disini (hatiku). Aahh, aku berusaha keras mengabaikannya. Tapi tetap saja suara
itu mendobrak logika ku. Aku saat itu yang merasa ingin bebas sesaat tanpa
larut dalam kata yang tercekat. Tapi, aku tidak bisa. Suara itu muncul dari
relung hati ini. Apa yang harus aku lakukan?
Berulang kali aku
mondar-mandir diruangan kamar ku ini. Seketika aku terpaku melihat figura yang
membingkai kita, “Aku dan kamu,
Mentariku.” Apa kamu masih ingat dengan figura mini itu? Yang kamu berikan
ke aku saat kita duduk ditaman yang sering kita singgahi ketika kita merasa
lelah. Hanya untuk tertawa dan membuang rasa lelah bersama. Kita lakukan itu,
dulu. Dulu sebelum aku melupakan sosokmu, sesaat. “Maafkan aku, Ariani”. Seketika logika luluh, tak mampu melawan
rasa hati ini. Namun, aku masih mencoba untuk kukuh tidak mengikuti.
“Apa
yang kamu lakukan? Kamu itu lelaki, Zie. Jangan bersikap linglung seperti ini.
Tegaslah terhadap hatimu.” Logika ku mulai melawan. “Tapi kamu tetap tidak bisa seperti ini,
Zie. Temuilah dia. Lihat senyuman yang terbingkai difigura itu. Tidakkah kamu
ingin melihatnya? Senyuman khas dari mentarimu. Lihat dia Zie, Lihat dia..!!!
Aku semakin kalut ketika
hati dan logika ku tak menyatu. Aku terpaku melihat kita, Ariani. Kenapa perasaan ini tiba-tiba muncul. Keinginan untuk
bertemu denganmu, bersenda gurau seperti dulu. Kamu dimana, Ariani?
Tanpa pikir panjang lagi
aku menurut kata hati ku. Ya, kali ini aku mengabaikan logika ku. Tak ingin ada
yang terlewati lagi, setelah senja itu. Aku tak ingin kehilangan lagi,
mentariku. Aku mengambil telepon genggam ku yang tergeletak disudut meja
kamarku. Mencoba menghubungimu.
“Apa
lagi ini? Nomor kamu susah dihubungi, Ariani.” Kemana
aku harus mencarimu. Berulang kali aku mencoba menghubungi mu, tapi tetap saja.
Tidak bisa. Logika dan hati saat itu telah berdamai, mereka mencarikan solusi
untukku. Mereka membantuku untuk menemukanmu, menemukan sosok mentari
dihidupku. Akhirnya aku memutuskan untuk mencarimu ke taman, ya ke taman kota
itu. Sebuah tempat yang sering kita datangi.
Tanpa pikir panjang lagi
aku melangkahkan kaki keluar dari ruang kamar ini. Dengan cepat aku mengambil
mantelku yang tergantung didekat pintu keluar. Membalutkannya ke tubuh ku. Hari
ini Tokyo menghadirkan udara yang amat dingin. Dengan gontai aku langsung
berjalan ke arah taman itu.
Sesampainya disana,
inderaku langsung mencari dan mencoba menangkap dimana kamu berada. Ternyata kamu
disana, Mentariku. Kamu masih disana,
duduk sendiri. Seperti yang sedang kamu lakukan, dulu ketika menungguku. “Apa kali ini kamu masih melakukannya
untukku? Untuk menungguku...?” kata itu mengalir dari dalam hati.
Aku berjalan ke arahmu,
kali ini bukan dari arah depan mu, aku berjalan dari arah belakangmu. “Apa kamu merasakan kehadiranku saat itu,
mentariku”. Semua kembali normal, tidak ada yang berbeda. Terbayang saat
kita masih sering bertemu dibangku taman itu. sepertinya hanya aku dan kamu
yang menjadi pendatang tetap ditaman ini. Lalu duduk dibangku taman itu yang
entah sejak kapan berdiri kokoh disana. Mungkin ia sengaja menungguku kita. Menunggu
sepasang sahabat yang selalu berdialog sepanjang sore ditaman itu, tak hanya
itu tapi kita juga tertawa. “Apa mungkin
dia ikut tertawa ketika kita tertawa…??” pikirku.
“Are
you okay..?” sahutku. Seketika kamu menoleh kearahku.
Aaahh, lagi-lagi mata itu, sinarnya. Membuat jantung ini seolah berhenti. Aku harap
kamu tidak menangkap gerak ku yang tercekat karena matamu itu. “Ada apa denganmu, mentariku? Apa kamu tidak
merasakan dingin ini? Decakku dalam hati. Aku memberikan mantel yang
membalut tubuhku ke kamu. Mencoba menembus kesalahan dan sempat memberikan awan
mendung dilangit mentariku.
“Ariani,
apa yang kamu pikirkan saat ini?” aku mencoba menebak-nebak
apa yang ada dipikiran mu, tapi tetap saja aku tidak bisa. Kamu tahu apa yang
hendak aku lakukan saat ini, dihadapmu. Aku ingin memeluk mu. Tapia pa yang
terjadi? Seketika aku masih membaca ada sekat yang menghalingku. Entah itu
darimu, atau dari diriku sendiri. Senyuman mu itu membuyarkan semua tanya,
seolah aku menangkap bahwa hatimu telah membaik.
Aku ingin kembali
merasakan senja bersamamu, Ariani. Apa
kamu juga menginginkannya? Sesaat kita larut dalam diam. Sampai ketika kamu
mulai mempertanyakan hal yang seharusnya tidak kamu pertanyakan secepat itu. “Kok kamu ada disini? Nggak kerumah Muri?” ujarmu.
Kamu tahu apa yang terjadi dengan diriku? Aku terhenyak mendengar pertanyaan mu
itu. Apa aku tidak boleh menghampirimu? Apa aku tidak boleh menemuimu saat
seperti ini? Jangan lihat aku sebagai seorang yang pernah mengabaikanmu, tapi
lihat aku sebagai orang yang selalu ingin menemuimu.
Tak ingin terlihat
kekacauan yang terjadi dengan diriku, aku pun menjawab “ dia tadi kirim pesan lagi, dan dia tidak ingin diganggu saat ini, ia
ingin sendiri.” Dan aku menangkap seraut kecemasan dari wajahmu, sesaat setelah
aku menjawab dari pertanyaan mu itu. Ya, kamu masih berfikiran bahwa hal ini
terjadi karena cerita senja itu kan? Ketika alam yang membawa kita untuk
bertemu setelah terjadi jarak beberapa saat. Kamu masih saja mempersalahkan
dirimu sendiri. Aku tegaskan sekali lagi, Ariani.
Dalam hal ini tidak ada yang salah. Dan kita tidak perlu membuat celah
seperti ini.
Kamu diam, tertunduk. “Andai kamu tahu, bahwa aku tak ingin melihat
kamu seperti ini. Aku ingin melihat senyum mu itu, dan binar matamu, Ariani”. Hanya
itu. Tolong jangan bersikap seperti itu, setidaknya dihadapanku.
“Kamu
masih marah kepadaku??” setengah berbisik. Kamu menoleh
kearahku, lalu “Siapa yang marah? Memang
kelihatan gitu kalau aku sedang marah?” Ya kamu memang tidak terlihat
seperti orang marah. Tapi kamu kecewa kepada ku. Maafkan aku sekali lagi,
Airin. Kata ku membatin. Seharusnya bukan pertanyaan itu yang keluar. Benar bukan?
Aku tahu kamu letih dengan permasalahan yang mengikat kita seperti ini. Tapi
kita harus menyelesaikannya bersama. Jangan tinggalkan aku sendiri dalam
permasalah ini. Kita harus tetap bersama agar semuanya jelas. “Apa kamu dapat mendengarkan bisikan suara
hati ini, Mentariku?
Lalu aku kembali berujar “Jika aku salah aku minta maaf, Rin. Kamu
dan dia penting untukku. Meski aku tahu aku tidak cukup adil dalam memposisikan
diriku untuk kalian berdua. Layaknya udara dan mentari yang memberikan
kehidupan untukku.” Lalu kamu seketika memberhentikan perkataanku itu. “SSsstt…. Aku baik-baik saja, Zie.”
Dan lagi aku tercekat oleh
mu. Terlebih saat itu juga kamu memintaku untuk menemuinya. Aku tidak bisa
berkata apa-apa lagi dihadapmu. Kenapa kamu memaksa ku seperti ini? Andai kamu
tahu aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu, itu saja. Kembali bercerita seperti
dulu. Tak ada celah yang memisahkan kita. Apa aku harus menyesali pertemuan ini
juga? Sama sepertimu? Áyolah Rin, bantu aku menghadapi ini. Jangan paksa aku.
Tapi tetap saja, aku
selalu tidak bisa menolakmu. Terlebih dengan kata “Temui dia. Untuk aku, sahabatmu ini.” Yaa.. kamu benar, kita
sahabat. Andai kamu tahu ada perasaan yang mengangguku setelah kejadian sore
itu. Tapi kamu tidak perlu tahu, aku tidak ingin menambah kegundahanmu itu. aku
tidak ingin awan mendung itu menyelimuti langitmu lagi. Dan aku inginkan kamu
tersenyum kembali setelah hari ini. Jika kita bertemu kembali.
“Baiklah
aku pergi dulu.” Ya kita sama berpisah ditaman itu. Taman
yang mempertemukan kita. Taman yang menyediakan semua fasilitas waktu, senang,
bahkan saat seperti ini. Kita pun berlalu.
***
Aku menemuimu karena nya,
Amuri.
Aku berjalan ke arahmu,
bukan untuk berbagi duka. Aku ingin melihat tawa itu terbingkai lagi diwajah
manis mu itu. Tak usah kamu hiraukan atas perubahan diriku. Yang aku mau
senyuman mu itu kembali lagi, wahai pemilik jiwaku. Lihat aku.
Apa yang terjadi dengan
kalian berdua? Beri tahu aku rasa nya jadi kalian. Ceritakan ke aku apa yang
tak kalian pahami? Mari kita bersama menyelesaikan masalah ini. Jangan buat aku
seperti orang buta yang tak tahu arah, tanpa ada pegangan. Kita ini “BUMI”, aku
tak ingin ada yang terlewati.
Apa
yang terjadi denganmu, sayang? Apa gerangan yang membelenggu hatimu itu? Beri
tahu aku. Kamu datang menghampiriku, lihat senyum mu itu sudah sedikit
memberikan ketenangan untuk jiwa ini.
Memelukmu saat ini, tak
lain dan tak bukan mengingatkan ku pada dirinya. Ya dirinya yang berjasa
memberikan kita sebuah rasa hingga saat ini.
Aku tak seharusnya seperti
ini. Aku tak seharusnya memiliki rasa yang tak seharusnya aku nikmati. Aku seharusnya
bisa mempertegas diri ini, Amuri. Karena
aku lelaki. Lelaki yang seharusnya tak begini, membiarkan hati yang menguasai
jiwa. Aku lelaki yang tak seharusnya begini.
Amuri,
tolong jangan siksa aku dengan kesedihan itu lagi. Aku tak ingin menyesalinya.
Sungguh.
Lihat senja masih setia
berarak bersama jingga. Kamu menyukainya bukan?? Meskipun hari ini kita tidak
menikmatinya dipantai itu seperti biasanya. Tapi aku menangkap secercah bahagia
yang terpancar diraut wajahmu itu, Amuri.
Jangan hilangkan momen seperti
ini. Dan kamu jangan pinta aku untuk tidak menghubungimu lagi.
Maafkan untuk rahasia yang
aku balut hari ini. Aku menemuinya (Ariani) hanya untuk menembus luka yang
pernah ada. Maafkan aku, bukan untuk membiarkan kamu merasa terbebani. Aku
ingin ada kita. Bukan hanya ada kata, Aku, kamu dan dia.
Jika ada rahasia yang
terbalut lagi setelah ini, aku tidak tahu pasti. Mungkin rahasia itu tak perlu
dibagi. Membiarkannya berdiri sendiri dengan kata kunci yang hanya ia yang
tahu. Bukan untuk kita bagi jika itu menorehkan luka untuk kita “Bumi”.
***
NB : tetap setia ngikutin kita bertiga yaaa :D tunggu kelanjutannya dari karakter Uzay sebagai Airin, Ainiza sebagai Amuri, dan saya sendiri sebagai Zie. Semoga menyukainya *peluk
Kakak.. kenapa tiba2 saya merasa hati amuri sedang lebih terbeban ya dengan pertemuan zie dan airin?
BalasHapushahaha..astaga kita2 bener2 da kena syndrom kehidupan Amuri,zie dan airin yah...
emosi buat nulis kelanjutannya udah main, skg tinggal nunggu dari bang uzay ceritanya :)
SEMANGAT!! :)
iya... harus dihidupkan kembali konflik nya.
Hapusbiar kerasa hidup fiksi ini... :D
kita tungguin uzay lagi nii
hiii... terima kasih sudah berkunjung :D
BalasHapussalam kenal kembali sob :D
ok segera menuju kesana :)