Sabtu, 30 Juni 2012

Masih Dalam Ingatan

Kamu masih ingat tidak, ketika aku menceritakan sebuah pulau yang pernah aku singgahi itu. Ya pulau kecil yang sangat indah itu. Kamu memuji keindahannya. Terlebih ketika kamu melihat sebuah dermaga yang membentang di salah satu koleksi foto-fotoku itu. Terlihat senja yang menawan. Air laut pasang yang sungguh memberikan ketenangan bersama birunya. Tentang suara ombak yang aku ceritakan ke kamu.

Senja itu adalah senja yang sangat sempurna yang pernah aku lalui. Namun sayang, aku tidak melewatinya bersamamu. Tapi sungguh dapat menceritakan detail perjalananku itu sungguh menyenangkan, terlebih cerita itu berbagi denganmu. Senja, pasir putih, ombak, langit biru, malam, bintang, bulan, komet, sampai fajar membentang. Aku masih terjaga. Sengaja aku duduk di dermaga itu, untuk mengingatmu yang jauh di sana. Andai saja kamu ada di sini, pikirku. Pasti kita akan menikmati malam itu bersama, menanti komet jatuh. Melihat bintang, menahan dinginnya angin laut malam.

Malam itu aku memang memilih dermaga itu untuk menjadi temanku. Tempat yang memang mendukung untuk aku menikmati sendiriku. Karena jika aku bersama sendiriku, pasti kamu selalu ada Jo, hadir bersama langit yang bertaburan bintang itu. Aku menikmatinya. Dermaga itu menjadi teman setiaku menanti fajar. Bersama deburan ombak yang menghempas dinding penyanggah dermaga itu. Aku menikmati suaranya, anginnya. Hingga malampun kian menepi. Aku masih bersamamu (diingatanku), kita tetap bercerita meski dalam diam. Aku yakin kamu pasti mendengarnya. Melihat komet yang berulang kali jatuh, indah Jo. Bisikku dalam hati. Sambil memejamkan mata seraya (kembali) mengingatmu. 

It was fun, jo. 

Sampai pada satu titik. Di mana aku harus memutuskan sendiri. Ke mana arah yang harus aku temui. Aku meminta kepadamu agar kita sama-sama berhenti untuk saling berbagi. Untuk saling mengisi seperti dulu. Itu adalah ketakutan terbesarku, Jo. Untuk memintamu melupakan aku. Nyatanya kamu menolaknya. Tapi itu harus. Harus aku lakukan. Aku tahu persis apa yang kamu rasa saat itu. Sangat tahu. Mungkin kamu memiliki seribu tanya di kepalamu. Yang tak bisa aku jawab langsung. Waktu yang bisa menjawabnya. Maafkan aku untuk itu, Jo. Untuk hal yang ku tinggal dalam seribu tanya di benakmu. Hari di mana kamu mempertanyakan semuanya, mempertanyakan perubahan yang terjadi.

"Re, gimana kabar kamu?" pesan singkat itu masuk ke inbok-ku. 
"Hai, Jo kabar ku baik. Kamu gimana?" balasku
"Akhir-akhir ini kamu gak pernah kelihatan, kemana aja? Kamu tak seperti biasanya."
"Hehe, keliatan di mana?"lanjutku.

Ya, kita memang tak pernah bertemu selama 4 tahun belakangan ini. Kita bertemu hanya pada ruang ini. Rumah maya ini. Kita sama-sama menatap, tapi tak saling melihat. Kita saling menggenggam, tapi tak saling berpagutan. Seperti itulah aku dan kamu, Jo. Perasaan nyaman yang tumbuh dari 4 tahun lalu, yang membuat aku benar-benar takut untuk kehilangan kamu. 

"Hehe, ya biasanya kamu selalu keliatan di situs ini, dan selalu menghubungiku. Tapi sekarang aku merasakan ada yang berbeda dari kamu." protesmu.

Membaca pesan darimu membuat aku menghelas nafas panjang. Apa yang harus aku katakan pun aku tidak tahu. Lalu kamu melanjutkan pesan itu, "Apa masalah kamu yang dulu sempat kamu ceritakan itu sudah selesai?" tanyamu.

"Belum, Jo. Tidak ada yang berbeda, perasaanmu saja itu, Jo." Imbuhku.

Ya, ternyata hatimu itu peka sekali, Jo. Terhadap apa yang terjadi pada diriku, tepatnya kekacauan yang ada di hatiku. Kamu mengetahuinya. Tapi aku, aku tak tahu berbuat apa. 

"Apa aku boleh mengetahuinya lebih detail, Re?"
"Jo, aku tidak tahu harus memulainya dari mana? Maafkan aku sebelumnya, Jo."
"Jo, bisakah kamu menghapusku dari memori itu? Tolong cuma itu. Ini bukan berarti aku tak menginginkanmu. Tapi aku harus melakukan ini, Jo." pesan itu aku sampaikan kepadamu dengan perasaan yang teramat sangat berat.

Lalu "kenapa Re, kenapa aku harus melakukan itu? Ada apa ini?" tanyamu.
"Aku cuma ingin kamu melakukan itu, Jo" singkatku.
"Ya, tapi apa alasannya aku harus melakukan itu?" lanjutmu.

Aku menangis, Jo. Bisa kamu merasakan kesedihanku seperti biasanya. Feeling  yang kamu punya yang tahu semua keresahan yang aku rasa. Kamu mengetahuinya tanpa aku cerita sedikitpun. Batinmu sangat kuat, Jo. Dan aku pasti akan merindukan perhatianmu itu. Kamu satu-satunya orang yang mampu memahamiku dalam diam. I'll be miss you, Jo. Since that day, when I must let you go. Can you hear me? Scream out on the night, i call you for the last. It's gonna be hard, Jo. I'm so sorry, didn't mean to hurt you. But I must let you go.

"Ada hati yang membutuhkan aku di sini, Jo. Membutuhkan aku lebih." singkatku.
"Tapi kenapa aku harus melakukan itu?"
"Jo, please jangan siksa aku lagi dengan pertanyaan itu. Hatiku bimbang, Jo. Saat ini aku ingin kamu yang melakukannya."

"Kenapa tidak sekalian saja kamu memintaku untuk menganggapmu tidak pernah ada, Re. Anggap kita tidak pernah kenal. Kita tidak pernah berbagi" lanjutmu. Aku memahami semua perasaanmu itu, Jo. Tapi aku sungguh tidak bisa.

Hingga detik ini aku tidak mendapatkan kabar apapun darimu. Aku tahu, ada hati yang terluka dan kecewa karenaku. Tapi sungguh aku sudah jauh lebih terluka dengan melakukan ini kepadamu, Jo. Apa masih bisa aku bercerita denganmu? Terlebih setelah aku membuat jarak ini. Jarak yang tak seharusnya ada. Apa kamu masih ingin mendengarku? Apa masih ada ingatanmu tentangku? Setelah ini, Jo? Kamu tahu? Itu sulit untukku Jo, sungguh. Jo, aku tahu. Mungkin kamu tidak akan pernah hadir lagi untukku. Tapi yakinlah, kamu akan selalu ada (di ingatanku) selamanya. Jo, 

Kamu akan tetap menjadi hujan di duniaku, beserta senja yang menawan untuk aku nikmati keindahannya. Meski tak selalu. Aku yakin tak akan pernah kehilanganmu. Karena hatiku telah bersamamu jauh lebih dulu. (ALWAYS HAVE, ALWAYS WILL). Kenangan yang tak akan pernah lekang, kan selalu tertanam meski kita sama-sama menghilang. Dari hati yang terdalam.



kamu dan hujan


Seperti bumi yang merindukan hujan dalam beberapa waktu di musim kemarau. Kering, seperti itulah adanya hati jika diumpakan seperti bumi yang menahan panasnya matahari yang membuat seisinya sungguh merindukan hujan walau hanya sesaat. Bumi menunggu ketika tetesan-tetesan yang tumpah dari langit itu memecah sunyi, membuat udara semakin sejuk, membiarkan pohon menari untuk beberapa saat. Memberikan kenyamanan, kesejukan, bahkan memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk kembali meneruskan tidurnya dalam dinginnya hujan itu.
Yaa, menunggu hujan. Seperti itu lah aku menunggumu ketika terjadi perpecahan yang tak kuinginkan. Menunggu dalam kurun waktu yang menurutku sungguh-sungguh bisa membuatku mati. Mati dalam kekeringan dan panasnya hatimu saat itu. Aku hanya bisa diam, termenung, menyesali. Hujan malam itu seakan hujan yang terakhir yang kurasa dalam duniaku. Hujan itu pun tak mampu memberikan ketenangan malah sebaliknya.
Hanya mampu menangisi penyesalan kala itu. Dan ketika aku tersadar, waktu itu telah terlewati, musim kemarau itu berlalu diduniaku. Hujan itu kembali, kembali membawa ketenangan, membawa senyuman, membawa kedamaian disini, diduniaku. Seperti kata pepatah “Jika ingin melihat pelangi, maka kamu harus menunggu hujan selesai untuk menikmati keindahannya”. Hujan malam itu memberikan ku kesakitan yang teramat sangat telah berlalu, berganti dengan hujan dimusim baru hatiku. Tak hanya tetesannya yang membuatku nyaman, melainkan bias dari tetesannya itu memperlihatkan keindahan. Hujan itu memberi pelangi, pelangi terindah yang pernah kunikmati dengan inderaku.
Waktu itu kembali, semua kenangan terburuk musnah tersapu karena tetesanmu, Terimakasih telah menyapu hal itu dari gundahku. Kamu menyiraminya dan membasuh semua keluh yang tersisa. Bahkan saat ini semua omongkosong tentangnya hilang, benar-benar hilang. Hujan benar-benar membawa nya pergi, dan membiarkan omongkosong itu terbang terbawa angin dan menghilang tanpa bekas.
Kamu (hujan) tak benar-benar pergi. Kamu (hujan) benar-benar tak meninggalkanku. Aku bahagia bisa menikmati tetesanmu kembali. Walau hujan itu turun kebumi tidak hanya untukku melainkan untuk semua umat dimuka bumi ini, memberikan ketenangan, kesejukan. Walau tak pelak ada yang membenci hujan. Hujan itu tidak egois, seperti kamu. Apa kamu (hujan) tahu? Bahwasanya aku selalu menunggu tetesanmu itu menyentuh bumi. Menyentuh bulir-bulir kegelisahan yang masih tertanam didasar hati.Setidaknya kamu mampu menyapu bersih sedikit demi sedikit kegelisahan itu.
Terkenang ketika emosi itu menyeruak kepermukaan ketika aku memohon kepadamu “tolong, (hujan) jangan pergi…” Lantas kamu menjawab “tidak… aku tidak pergi. Hanya saja…. Hanya saja aku akan menghilangkan sedikit demi sedikit memori tentangmu.” Hujan apa kamu tahu? Kata-kata mu itu bagaikan suara gemuruh yang mengguncang hati. Aku terhenyak, larut dalam lamunan. Mencoba mengingat kembali apa yang telah aku lakukan beberapa waktu belakangan ini. Dan tersadar aku salah. Aku bodoh, hanyut dalam omongkosong yang aku bangun sendiri kala itu. Bagai terhipnotis dikegelapan. Sudah gelap, tak tahu mau berpegang kemana. Hujanmu saat itu memang mengering, tetesannya bahkan tak terlihat lagi. Kamu meninggalkanku sendiri, memang betul-betul sendiri.
Aku berharap tetesanmu kala itu mampu menghapus garis yang melingkar itu, setidaknya memudarkannya sehingga aku dapat menembusnya. Dan berhasil keluar. Tapi kenyataannya, TIDAK. Kamu memberikan pelajaran tentang ketegasan. Ketegasan dari setiap tetesanmu itu. Ya, tetesanmu mempertegas bahwa kamu ada untuk memberikan kenyamanan, memberikan kesejukan untuk seluruh isi bumi. Bahkan dalam marahmu sekalipun, tetap memberikan ketegasan kepada umat manusia. Memberikan pelajaran tentang pentingnya menjaga lingkungan. Ya lingkungan itu aku umpamakan hati. Hati yang harus dijaga agar tidak dibanjiri dengan kemarahan. Aku harus menjaganya sendiri untukku.
Aku hanya bisa bergumam “i remember it clearly, I made a big mistake, i'm so sorry just it i don't know what i want to do. Please don't go away. Sekali lagi saat itu kamu (hujan) hanya diam, diam dan diam. Dalam beberapa waktu kamu kembali berbicara ”aku harus bersikap seperti ini, harus..!! ini demi kamu dan untuk kamu. Kamu harus bisa melepaskan semua kenangan itu.
Ya, itu sepenggal kisahku tentang kehilangan sosok kamu (hujan) dalam beberapa saat yang hampir membuatku mati kekeringan diteriknya panas emosi yang menyeruak kala itu. Semua musnah ketika sapaan hangatmu kembali hadir dipenghujung februari. Tetesannya kembali terasa, tetesannya kembali menyejukkan, tetesannya kembali membawa rasa bahagia disini. Walau aku dan kamu (hujan) harus memulai nya dari awal lagi. Tapi tidak mengapa, dengan kembali nya hujan setidaknya duniaku tidak akan kekeringan. 
Hanya antara kamu dan hujan selalu terselip pelajaran bermakna tentang kasih putih. Hanya antara kamu dan hujan selalu ada rindu disetiap riak yang terbentuk setelah hujan. Hanya antara kamu dan hujan selalu ada pancaran bias pelangi yang engkau ciptakan untukku Hanya antara kamu dan hujan yang selalu hadir dalam setiap waktu aku memikirkanmu meski dalam sendiriku.Dan aku selalu menunggumu (hujan) disetiap musim berganti.

Kamis, 28 Juni 2012

Muara (Tak) Berujung


Membicarakan orang dalam satu paket, yakni sahabat. Apa kamu tahu satu paket itu apa? Setidaknya ini kognitif yang aku bangun untuk mendeskripsikan kamu yang tak semu. Meski terpisah jarak.

Dia tak hanya membawa tawa kedalam harimu. Tapi juga datang bersama rindu, rindu yang kadang kamu tak pernah tahu. Entah itu rindu ingin bertemu, sekedar ingin menyapa atau yang lainnya.

Ada hati yang tanpa sadar menerimanya. Membukakan jalan untuknya, masuk. Bersama rindu yang mulai bersemayam.

Bukan hanya bahagia yang kamu bawa (sekarang), tapi juga bersama kata yang terpatri tanpa janji ia tulus tanpa berkeinginan untuk mengakhiri "SAHABAT". Ya kita saat ini menyebutnya sahabat, apa itu juga akan berlaku nanti?

Jika suatu waktu beralih ingin menjadi lebih.

"Kenapa kita bisa kenal?" aku bertanya kepadamu. Lalu kamu menjawab "Sederhana!" imbuhmu singkat dalam pesan itu. Sejenak aku larut dalam perkataanmu yang singkat itu. Membuat aku berfikir, siapa sosok kamu itu?

Kita bercanda, lalu diam. Hening. Aku merasakan kehilangan dalam jeda itu. Secepat itukah tawa itu berlalu?

Lalu aku kembali menganggumu dengan tanya tiap waktu. Tak peduli itu akan mengusikmu, yang aku tahu aku hanya ingin begitu.

Maaf jika kamu tidak menyukai sikapku ini. Yang katamu aku ini aneh. Belum sampai seminggu kenal kamu, tapi aku sudah merasa nyaman berbagi cerita denganmu. Mungkin ini maksud artian "Sederhana" darimu. Dan aku memahaminya.

Lebih tepatnya menikmati. Maaf jika aku salah arti. Itu yang kurasa setidaknya saat ini.

"Ada rasa takut tentunya yang juga menghantui, terlebih jika kita (nanti) terjebak pada suatu muara yang tidak berujung." Ujarmu singkat, padat dan jelas.

Seperti biasa, lalu dengan candaan aku menyambung ucapanmu itu, "Gak mungkin, kita kan jauh.".

"Katanya nyaman itu sederhana!" sergahmu.  "Jauh? Itu lebih menakutkan lagi."

"Kenapa?" tanyaku.

"Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa kehilangan itu nyata. Dan yang nyata itu akan hilang. Kehilangan itu gak akan pernah tahu kapan datangnya."

"Jangan ngomongin tentang kehilangan!" sergahku.

Lalu kamu kembali bicara "Suatu saat kamu akan tahu dan berada pada suatu waktu, tanpa sadar tahu-tahu kehilangan."
"Sahabat itu gak akan hilang." sergahku. Dan tidak tahu mengapa, membaca pesan singkat itu ada perasaan yang benar-benar aku takuti, karenamu.

"Oke, tetap pada zona sahabat ya. Tidak boleh lebih!" katamu. Aku tersenyum membaca itu.

"Tapi, kalau nanti........." aku tercekat tak ingin melanjuti.

"Apa?" sambungmu singkat.

"Gak,.. Gak!" upayaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Bicarakan dari sekarang, biar dicari solusi. Agar nanti kita tidak menyesalinya." kamu melanjuti.

"Seperti yang kamu bilang diawal. Terjebak dalam muara yang gak berujung." lanjutku.

"Jujur hati!, itu lebih bijak. Gak ada yang tahu kapan rasa itu singgah dan kapan pergi. Iya kan?" ucapmu.

"Iya, tapi aku takut jika suatu saat aku yang merasakannya lebih dulu." celahku.

"Gak apa, seperti yang kamu bilang, rasa itu anugerah. Jadi nggak akan ada yang salah. Mungkin saja, kitalah yang kurang belajar memahaminya. Dan mudah-mudahan jika itu memang terjadi, gak ada hati yang akan tersakiti." Kamu memberi jawaban yang menenangkan hati.

"Begitu cepat kita membicarakan hal ini". Lanjutku.

"Harus, belajar mendewasakan perasaan, hahaha.." terangmu.

Entah dari mana ini bermulai. Kita tak pernah bertemu. Lebih tepatnya belum genap seminggu obrolan ini. Obrolan yang hanya sebatas dinding maya. Yang tak pernah bersuara, tapi iramanya seolah dekat. Dan ada rasa nyaman yang kudapat ketika aku berbagi denganmu. Nyaman, itu sudah cukup untuk mewakili itu semua. Maaf jika aku selalu hadir dalam waktu yang tidak kamu inginkan.


Jumat, 22 Juni 2012

AKU DAN KAMU UNTUK SUATU WAKTU


Malam itu aku dan kamu kembali bertemu dalam ruang tanpa dimensi. Menunggu pagi, saling berbagi. Tak terasa ini sudah 1 minggu aku melewati malam denganmu. Begitu cepatnya waktu berlalu, hingga peralihan langit malam bergantikan dengan langit fajar tak kita rasakan.

 Bercerita tentang apa saja, walau tak ayal kamu yang lebih sering mendengarkan celotehanku. Aku tertawa, kamu tertawa, dan KITA tertawa. Aku diam, kamu diam, dan KITA diam. Setelah itu suaramu, suaraku memecah keheningan “Kenapa diam?” seperti biasa kita kembali tertawa kecil setelah sama-sama melontarkan pertanyaan itu. 

Aku diam, namun dalam hati tidak. “Aku tidak diam, hanya saja aku membayangkan kamu benar-benar ada disini. Atau aku berada disana, kita bertemu, saling menatap, saling tersenyum. Hal itu yang ku bayangkan” aku membatin dalam hati. Apa khayalan ku terlalu tinggi? Untuk sekedar merasakan waktu bersamamu, lebih dekat.

Dalam diam kembali berfikir. Lalu suara khas mu memecah kembali diseberang sana “Hmmm…. Kenapa kembali diam?” “Gak” sergahku singkat. Kita melanjutkan, kamu bercerita tentang pekerjaanmu, temanmu, keponakanmu yang lucu, keluargamu. Dan aku, bercerita tentang perkuliahanku, teman-temanku, keluargaku, dan DIA (itu karena kamu yang menanyakannya, lebih dalam.) Pekerjaanmu yang sedikit mengalami masalah, dan menjadi celetukan khas diantara kita. “LAPAN” imbuhmu…. Lalu dengan bingungnya aku bertanya “mmm.. Lapan??” “Lah Paniang (pusing)”, hahahahahhaha” kamu tertawa, lalu aku juga ikut tertawa. Semoga keadaan “LAPAN” itu cepat berlalu. Dan suara tawa kita berdua memecah sunyi malam. Bercerita tentang hobi masa kecilmu dan temanmu yang suka pergi memancing. Tentang sikapmu yang diam-diam memperhatikan pembicaraan antara kakak-kakakmu(aku membayangkan gimana pikiranmu saat itu mencoba mencerna setiap kata yang tidak kamu mengerti). Tentang ketidaksukaan mu terhadap daging yang bisa membuat kondisi tubuhmu tidak nyaman dalam beberapa hari. Tentang kotamu, hobby mu yang juga suka maen PB. Aku mengingatnya.

Dan saat ini aku dan kamu telah memiliki 33 kata gombalan yang kita rangkai setiap kita melewati malam. Aku menuliskannya, menyimpannya dan membacanya. Membuat ku tertawa. Setidaknya ada sesuatu yang dapat aku nikmati saat aku dan kamu tidak sedang dalam dimensi yang sama.

Terima kasih “Ji”untuk setiap waktu yang pernah ada hingga saat ini. Terima kasih “Ji”untuk setiap rasa yang kamu miliki, yang ternyata sama dengan apa yang kurasa. Terima kasih “Ji”untuk hujan yang tak pernah membiarkan bumi mengering. Terima kasih “Ji” untuk setiap rindu yang pernah kamu rasa. Terima kasih “Ji” untuk kejujuran yang kamu katakana malam itu. Terima kasih “Ji” untuk rasa yang telah kamu tempatkan dihatimu walau sedikit ruang untukku. Setidaknya aku jadi tahu, bahwa aku tak sendiri. Aku tidak sedang bermimpi. Aku tidak sedang berkhayal. Kamu nyata “Ji” tak hanya hadir didalam angan, namun jejak mu sudah lama ada disini. Memiliki tempat tersendiri, yang aku sendiri tak mampu untuk menjelaskannya. Ku harap kamu tahu itu “Ji”

Bagaimana ya nanti kalau suatu waktu aku dan kamu benar-benar bertemu? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa akan seperti ini? Atau… aku tak berani untuk membayangkan. Takut hal indah itu musnah dalam hitungan detik. Lebih baik aku tidak memikirkannya, begitu juga dengan kamu bukan? “Biar waktu yang menjawabnya” imbuhmu. “ya, biar waktu yang membawa kita” kembali membatin sambil tersenyum. Tak tahu kenapa, saat kamu berkata seperti itu aku memiliki harapan tentang waktu. Berharap waktu itu mau menunggu dan menyambut langkahku, dan tak membirkannya berlalu.


hingga semuanya akan menjadi nyata, lebih dekat, dan lebih jelas pada suatu waktu...

Kamis, 21 Juni 2012

Selamat datang, Kamu.


pict from here

Hei kamu...

Iya kamu, kamu yang saat ini leluasa bermain difikiranku. Masih betah berlama disana, hingga aku tertidur pulas. Dan ketika aku terjaga kamu ternyata masih disana. Ya masih bersama senyuman itu.

Aku lupa kapan aku mengizinkan kamu masuk kesana. Dengan leluasanya menari indah dengan waktuku tiada henti. Kali ini kamu selalu muncul dengan hal yang sama, tak peduli kapanpun itu.
Dan hari ini kamu hadir kembali. Mengetuk masuk lalu tersenyum (lagi). Ahh senyuman itu benar-benar mampu membuatku kaku. Tapi aku suka kamu melakukan itu. Bisa kamu melakukannya untukku setiap waktu? Tentunya tanpa aku minta sekalipun.

Aku suka melihatmu bersama gitar itu. Aku ingat pertama kali mengenalmu karena kamu memainkan gitar itu pada suatu waktu dicafe itu. Ya waktu membawa kita untuk saling mengenal. Hingga saat ini.

Berlebihankah jika aku menyukai senyuman yang terbingkai diraut wajahmu itu?

Aku (masih) betah berlama-lama menatapmu pada dimensi ini. Ya dimensi yang tak pernah bisa kamu jangkau sebelum aku mengizinkannya. Tapi kenyataannya kamu berhasil menerobos dimensi itu. Seakan-akan kamu telah lama tinggal disini. Gaya tertawamu itu mampu memberikan semangat pagi, meski mentari tak bersinar terang pada hari. Lihat kamu masih berdiri.

Selamat datang, kamu.


Senin, 18 Juni 2012

Getar yang tak Tersirat

cerita sebelum nya :

Part 1 :

Part 2 :

Part 3 :

Silahkan dinikmati :D

***
Sepertinya kita selalu memiliki kisah pada senja. Apa mungkin senja memang mengaturnya untuk kita, Amuri? Aku membatin. Sembari melihatmu, menangkap siluet senyummu yang membingkai indah menambah kesempurnaan senja.

Ada kata yang tak sempat kamu utarakan ketika itu, tapi aku tahu maksud yang tersirat di matamu itu, sayang. Aku tahu, sambil mendekap erat tubuhmu.

Amuri, I love You… kembali matamu itu menatapku, dan berujar I love you too, lalu kembali mendekap erat aku seolah-olah kamu tidak akan pernah melepaskan pelukan itu, Amuri. Lihat senja ini, begitu sempurna, katamu. Ya sangat sempurna sayang, apalagi ada kamu di sini bersamaku. Aku menikmatinya, seraya melirik kearahmu yang tak henti melihat kearah air laut yang berwarna jingga berkilau.

Tentang keinginan untuk bersama itu, ternyata kamu menyambutnya. Setidaknya sedikit bisa menenangkan aku saat ini. Tapi aku masih tidak tahu masih ada rasa yang membelenggu disini. Semoga saja kamu tidak menangkapnya.

Yang aku tahu saat ini aku bahagia memiliki waktu bersamamu, yang aku tahu saat ini senja selalu berirama menyambut cerita, yang aku tahu kita menemukan ruang untuk bersama, yang aku tahu aku bahagia, bahagia ku itu KAMU.

Sambil mengecup keningmu, lalu kamu tersenyum.

***
Dalam perjalanan pulang aku bertemu Anggara.

Hai bro, apa kabar? Sahutnya

Sambil menjabat tangannya, fine, dude. Lalu kita berjalan keara cafĂ© yang biasa aku singgahi bersama kamu “BUMI”. Ahh entah kenapa kali ini ada sepintas getar yang tersirat.

Lihat, dia tersenyum menceritakan kamu, Airin. Decakku dalam hati.

Sepertinya kamu menemukan seseorang yang akan mengisi ruang dihatimu. Aku kenal baik dia, aku yakin kamu akan selalu tersenyum bersamanya.

Dia mencari tahu semua tentang mu, dari aku. Antusias itu tergambar dari raut wajahnya. Sosok lelaki yang aku kenal dengan sikap dingin yang ia miliki terhadap wanita. Kini ia bertransformasi menjadi sosok yang hangat, apa lagi ketika menyebut namamu.

Sosok lelaki yang pernah aku perkenalkan ke kamu waktu itu. Ya saat ini dia menemuiku. Menggali semua informasi tentangmu. Dan tanpa sengaja memori itu terbuka kembali. Cerita bersama senja di bangku taman, mengukir kata “BUMI”, semuanya. Semuanya hadir ketika aku berbagi tentangmu bersama nya.

Apa aku harus membagi semua itu, kepada nya? Kepadanya yang juga sahabat ku.Tapi kenapa hati ini sedikit menolak untuk berbagi?

Mentari, dia bertanya banyak tentangmu kepada ku. Haruskah aku menjawab semua nya?
Zie, menurut kamu Airin itu cewek yang gimana? Ungkap Anggara

Sontak aku terkejut mendengar pertanyaan itu dari nya. Untuk menutupi nya “hahhaha, dia anak baik”. Imbuh ku singkat.

“Aku tahu kalau dia anak baik-baik, tapi menurut kamu dia tipe cewek yang bagaimana? Kamu kan sahabat nya. Pasti lebih tahu. Bantu aku untuk mendekatinya.” Sergah Anggara sambil meninju kecil bahu ku.

Mendengar itu ada sedikit sengatan disini (rongga dada). Kamu tahu mentariku, beberapa detik setelah mendengar nya aku tertegun.

“ heei, kenapa bengong? Bisa gak?” ucap nya

“eehh, kenapa? Sorry, sorry aku gak fokus” lanjut ku mencoba menyembunyikan hal itu. Tahu kah kamu ini mentariku. Ada sosok lain yang mendamba mu di sini. Tapi kenapa ada hati yang sedikit terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

“Ariani… dia suka dengan hal-hal yang sederhana.” Itu aku tahu.

“Bisa beritahu aku lagi, hal sederhana apa yang dia suka?” Anggara melanjutkan pertanyaan nya ke aku.

“Sorry, dude. Aku lupa malam ini aku ada janji dengan Amuri. Aku harus buru-buru. Bye, take care”. Aku meninggalkan dia dalam keadaan penuh tanya tentang mu, mentari. Maaf kali ini aku tak ingin berbagi hal itu pada siapa pun. Bukan maksud hati untuk menutup jalan dan celah yang telah kamu buka kan untuk nya. Hanya saja aku tak ingin membagi nya. Berlebihan kah???

“Melangkahkan kaki pada jalan setapak, hanya derap langkah kaki ku yang terdengar. Sekilas menangkap bayangan yang berjalan seiring dengan ku. Ternyata itu kamu, mentari yang berada pada ujung jingga di langitku. Bersiap meninggalkan lembayung senja dan berpasrah pada malam yang menggantikan nya.”