Seperti bumi yang merindukan hujan dalam beberapa
waktu di musim kemarau. Kering, seperti itulah adanya hati jika diumpakan
seperti bumi yang menahan panasnya matahari yang membuat seisinya sungguh
merindukan hujan walau hanya sesaat. Bumi menunggu ketika tetesan-tetesan yang
tumpah dari langit itu memecah sunyi, membuat udara semakin sejuk, membiarkan
pohon menari untuk beberapa saat. Memberikan kenyamanan, kesejukan, bahkan
memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk kembali meneruskan tidurnya
dalam dinginnya hujan itu.
Yaa, menunggu hujan. Seperti itu lah aku menunggumu
ketika terjadi perpecahan yang tak kuinginkan. Menunggu dalam kurun waktu yang
menurutku sungguh-sungguh bisa membuatku mati. Mati dalam kekeringan dan panasnya
hatimu saat itu. Aku hanya bisa diam, termenung, menyesali. Hujan malam itu
seakan hujan yang terakhir yang kurasa dalam duniaku. Hujan itu pun tak mampu
memberikan ketenangan malah sebaliknya.
Hanya mampu menangisi penyesalan kala itu. Dan ketika
aku tersadar, waktu itu telah terlewati, musim kemarau itu berlalu diduniaku.
Hujan itu kembali, kembali membawa ketenangan, membawa senyuman, membawa
kedamaian disini, diduniaku. Seperti kata pepatah “Jika ingin melihat pelangi, maka kamu harus menunggu hujan selesai
untuk menikmati keindahannya”. Hujan malam itu memberikan ku kesakitan yang
teramat sangat telah berlalu, berganti dengan hujan dimusim baru hatiku. Tak
hanya tetesannya yang membuatku nyaman, melainkan bias dari tetesannya itu
memperlihatkan keindahan. Hujan itu memberi pelangi, pelangi terindah yang
pernah kunikmati dengan inderaku.
Waktu itu kembali, semua kenangan terburuk musnah
tersapu karena tetesanmu, Terimakasih telah menyapu hal itu dari gundahku. Kamu
menyiraminya dan membasuh semua keluh yang tersisa. Bahkan saat ini semua
omongkosong tentangnya hilang, benar-benar hilang. Hujan benar-benar membawa
nya pergi, dan membiarkan omongkosong itu terbang terbawa angin dan menghilang
tanpa bekas.
Kamu (hujan) tak benar-benar pergi. Kamu (hujan)
benar-benar tak meninggalkanku. Aku bahagia bisa menikmati tetesanmu kembali.
Walau hujan itu turun kebumi tidak hanya untukku melainkan untuk semua umat
dimuka bumi ini, memberikan ketenangan, kesejukan. Walau tak pelak ada yang
membenci hujan. Hujan itu tidak egois, seperti kamu. Apa kamu (hujan) tahu?
Bahwasanya aku selalu menunggu tetesanmu itu menyentuh bumi. Menyentuh
bulir-bulir kegelisahan yang masih tertanam didasar hati.Setidaknya kamu mampu
menyapu bersih sedikit demi sedikit kegelisahan itu.
Terkenang ketika emosi itu menyeruak kepermukaan
ketika aku memohon kepadamu “tolong,
(hujan) jangan pergi…” Lantas kamu menjawab “tidak… aku tidak pergi. Hanya saja…. Hanya saja aku akan menghilangkan
sedikit demi sedikit memori tentangmu.” Hujan apa kamu tahu? Kata-kata mu
itu bagaikan suara gemuruh yang mengguncang hati. Aku terhenyak, larut dalam
lamunan. Mencoba mengingat kembali apa yang telah aku lakukan beberapa waktu
belakangan ini. Dan tersadar aku salah. Aku bodoh, hanyut dalam omongkosong
yang aku bangun sendiri kala itu. Bagai terhipnotis dikegelapan. Sudah gelap,
tak tahu mau berpegang kemana. Hujanmu saat itu memang mengering, tetesannya
bahkan tak terlihat lagi. Kamu meninggalkanku sendiri, memang betul-betul
sendiri.
Aku berharap tetesanmu kala itu mampu menghapus garis
yang melingkar itu, setidaknya memudarkannya sehingga aku dapat menembusnya.
Dan berhasil keluar. Tapi kenyataannya, TIDAK. Kamu memberikan pelajaran
tentang ketegasan. Ketegasan dari setiap tetesanmu itu. Ya, tetesanmu mempertegas
bahwa kamu ada untuk memberikan kenyamanan, memberikan kesejukan untuk seluruh
isi bumi. Bahkan dalam marahmu sekalipun, tetap memberikan ketegasan kepada
umat manusia. Memberikan pelajaran tentang pentingnya menjaga lingkungan. Ya
lingkungan itu aku umpamakan hati. Hati yang harus dijaga agar tidak dibanjiri
dengan kemarahan. Aku harus menjaganya sendiri untukku.
Aku hanya bisa bergumam “i remember it clearly, I made a big mistake, i'm so sorry just it i
don't know what i want to do. Please don't go away. Sekali lagi saat itu
kamu (hujan) hanya diam, diam dan diam. Dalam beberapa waktu kamu kembali
berbicara ”aku harus bersikap seperti
ini, harus..!! ini demi kamu dan untuk kamu. Kamu harus bisa melepaskan semua
kenangan itu.
Ya, itu sepenggal kisahku tentang kehilangan sosok
kamu (hujan) dalam beberapa saat yang hampir membuatku mati kekeringan
diteriknya panas emosi yang menyeruak kala itu. Semua musnah ketika sapaan
hangatmu kembali hadir dipenghujung februari. Tetesannya kembali terasa,
tetesannya kembali menyejukkan, tetesannya kembali membawa rasa bahagia disini.
Walau aku dan kamu (hujan) harus memulai nya dari awal lagi. Tapi tidak
mengapa, dengan kembali nya hujan setidaknya duniaku tidak akan
kekeringan.
Hanya antara kamu dan hujan selalu
terselip pelajaran bermakna tentang kasih putih. Hanya antara kamu dan hujan
selalu ada rindu disetiap riak yang terbentuk setelah hujan. Hanya antara kamu
dan hujan selalu ada pancaran bias pelangi yang engkau ciptakan untukku Hanya
antara kamu dan hujan yang selalu hadir dalam setiap waktu aku memikirkanmu
meski dalam sendiriku.Dan aku selalu menunggumu (hujan) disetiap musim
berganti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar