Malam itu aku
dan kamu kembali bertemu dalam ruang tanpa dimensi. Menunggu pagi, saling
berbagi. Tak terasa ini sudah 1 minggu aku melewati malam denganmu. Begitu
cepatnya waktu berlalu, hingga peralihan langit malam bergantikan dengan langit
fajar tak kita rasakan.
Bercerita tentang apa saja, walau tak ayal
kamu yang lebih sering mendengarkan celotehanku. Aku tertawa, kamu tertawa, dan
KITA tertawa. Aku diam, kamu diam, dan KITA diam. Setelah itu suaramu, suaraku
memecah keheningan “Kenapa diam?” seperti biasa kita kembali tertawa kecil
setelah sama-sama melontarkan pertanyaan itu.
Aku diam,
namun dalam hati tidak. “Aku tidak diam, hanya saja aku membayangkan kamu benar-benar
ada disini. Atau aku berada disana, kita bertemu, saling menatap, saling
tersenyum. Hal itu yang ku bayangkan” aku membatin dalam hati. Apa khayalan ku
terlalu tinggi? Untuk sekedar merasakan waktu bersamamu, lebih dekat.
Dalam diam
kembali berfikir. Lalu suara khas mu memecah kembali diseberang sana “Hmmm….
Kenapa kembali diam?” “Gak” sergahku singkat. Kita melanjutkan, kamu bercerita
tentang pekerjaanmu, temanmu, keponakanmu yang lucu, keluargamu. Dan aku,
bercerita tentang perkuliahanku, teman-temanku, keluargaku, dan DIA (itu karena
kamu yang menanyakannya, lebih dalam.) Pekerjaanmu yang sedikit mengalami
masalah, dan menjadi celetukan khas diantara kita. “LAPAN” imbuhmu…. Lalu
dengan bingungnya aku bertanya “mmm.. Lapan??” “Lah Paniang (pusing)”,
hahahahahhaha” kamu tertawa, lalu aku juga ikut tertawa. Semoga keadaan “LAPAN”
itu cepat berlalu. Dan suara tawa kita berdua memecah sunyi malam. Bercerita
tentang hobi masa kecilmu dan temanmu yang suka pergi memancing. Tentang
sikapmu yang diam-diam memperhatikan pembicaraan antara kakak-kakakmu(aku
membayangkan gimana pikiranmu saat itu mencoba mencerna setiap kata yang tidak
kamu mengerti). Tentang ketidaksukaan mu terhadap daging yang bisa membuat
kondisi tubuhmu tidak nyaman dalam beberapa hari. Tentang kotamu, hobby mu yang
juga suka maen PB. Aku mengingatnya.
Dan saat ini
aku dan kamu telah memiliki 33 kata gombalan yang kita rangkai setiap kita
melewati malam. Aku menuliskannya, menyimpannya dan membacanya. Membuat ku
tertawa. Setidaknya ada sesuatu yang dapat aku nikmati saat aku dan kamu tidak
sedang dalam dimensi yang sama.
Terima kasih “Ji”untuk setiap waktu yang pernah ada
hingga saat ini. Terima kasih “Ji”untuk
setiap rasa yang kamu miliki, yang ternyata sama dengan apa yang kurasa. Terima
kasih “Ji”untuk hujan yang tak pernah
membiarkan bumi mengering. Terima kasih “Ji”
untuk setiap rindu yang pernah kamu rasa. Terima kasih “Ji” untuk kejujuran yang kamu katakana malam itu. Terima kasih “Ji” untuk rasa yang telah kamu
tempatkan dihatimu walau sedikit ruang untukku. Setidaknya aku jadi tahu, bahwa
aku tak sendiri. Aku tidak sedang bermimpi. Aku tidak sedang berkhayal. Kamu
nyata “Ji” tak hanya hadir didalam
angan, namun jejak mu sudah lama ada disini. Memiliki tempat tersendiri, yang
aku sendiri tak mampu untuk menjelaskannya. Ku harap kamu tahu itu “Ji”
Bagaimana ya
nanti kalau suatu waktu aku dan kamu benar-benar bertemu? Apa yang akan terjadi
selanjutnya? Apa akan seperti ini? Atau… aku tak berani untuk membayangkan.
Takut hal indah itu musnah dalam hitungan detik. Lebih baik aku tidak
memikirkannya, begitu juga dengan kamu bukan? “Biar waktu yang menjawabnya”
imbuhmu. “ya, biar waktu yang membawa kita” kembali membatin sambil tersenyum.
Tak tahu kenapa, saat kamu berkata seperti itu aku memiliki harapan tentang
waktu. Berharap waktu itu mau menunggu dan menyambut langkahku, dan tak
membirkannya berlalu.
hingga
semuanya akan menjadi nyata, lebih dekat, dan lebih jelas pada suatu waktu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar