here |
Aku kamu, satu...
Seperti yang kamu tahu. Aku adalah satu yang selalu
menulis tentang kamu. Kamu adalah satu yang selalu ada dalam ingatanku.
Lalu. Aku adalah satu yang selalu merindumu. Kamu adalah
satu yang selalu menjadi candu. Aah, selalu seperti itu. Rindu dan candu
melekat erat dalam diri seperti akar pohon yang tegas mengikat pada tanah.
Aku kamu, satu.
Aku adalah satu yang menerka-nerka. Kamu adalah satu
yang tak sempat terjamah.
Aku adalah satu cerita. Kamu adalah satu kenangan.
Bersahutan. Memanggil dan mengulang cerita. Satu kenangan dan satu cerita.
Kita.
Aku adalah satu yang selalu menahan rindu. Kamu adalah
pemilik jarak yang membentang.
Aku adalah satu pencerita. Kamu adalah satu yang selalu
aku ceritakan pada pemilik malam.
Hanya ada satu aku, satu kamu.
Satu cerita.
Satu kenangan.
Satu ingatan.
Dan satu yang selalu menjadi arti untuk aku dan kamu
Rindu dan Kenangan.
Dear Jo,
Langit disini sudah mulai gelap.
Padahal ini belum waktunya sang malam membentang. Awan-awan putihpun sudah tak
tampak lagi berarak. Malah awan hitam seperti tinta hitam yang mengelamkan
kertas putih. Langit disini bersiap mengeluarkan tetesannya. Andai kamu ada
disini Jo. Mungkin kita bisa menikmati secangkir teh hangat dan beberapa potong
roti bakar kesukaanmu. Andai saja kamu disini. Mungkin juga aku dan kamu bisa
merangkai kata bahkan juga nada bersama gitar tua yang selalu menjadi favoritmu
itu. Menikmati hujan sendiri itu sungguh tidak mengasikkan Jo. Jika dilangitmu
saat ini juga sedang menghitam dan bumimu
basah, adakah kamu mengingatku? Seperti aku mengingatmu dan
berandai-andai kamu masih disini menemaniku. Duduk sendirian seperti ini saat
hujan sungguh tidak mengenakkan Jo. Suasana yang aku rasakan bukan senang
seperti anak-anak yang riang menginjakkan kaki diriak-riak basah itu. Mereka
berteriak senang berlarian kesana kemari. Diluar memang ramai oleh teriakan
gaduh mereka. Tapi aku disini seolah terkungkung bersama dinginnya senja, dan
seolah sedang memutar film yang berkali-kali sudah aku lihat dan imajikan.
Kenangan. Kenangan bersamamu.
Seperti yang kamu tahu, Jo. Ini
adalah surat pertama yang aku tuliskan untuk kamu setelah hari itu. Hari dimana
jarak memang menjadi peran utama yang benar-benar memisahkan aku dan kamu.
Setelah hari itu hujan tak lagi seindah dan senyaman sewaktu kamu masih disini.
Hujan berubah menjadi momok yang selalu ingin aku hindari. Andai saja aku punya
kuasa untuk mengatur cuaca ini. Hujan ini selalu menghadirkan kenangan-kenangan
itu tanpa aku minta.
Dan surat ini adalah sapaan
pertamaku untukmu. Benar bukan? Apa kamu disana menunggu kabar dariku? Kita
terlalu lama saling diam, Jo. Akhirnya, aku memberanikan menulis surat ini
untuk kamu. Sebab aku tak tahan lagi mengekang rindu yang sudah bergelayut
dipintu hati.
Rindu dan Kenangan
Menari bebas bersama rintik hujan diluar sana.
Lalu, apa kabar gitar tuamu itu?
Masihkah selalu kamu petik? Atau adakah suara lain yang mengikutimu bernyanyi
bersama senja? Jika ada, apa suaranya sumbang seperti suaraku? Ceritakan
padaku.
Menyebut namamu seperti mengundang
suara dentuman yang mengejutkan hati. Selalu begitu. Jadi, kapan kamu pulang?
Banyak hal yang ingin aku ceritakan. Seperti taman yang kita tanami bunga-bunga
kini sudah merekah yang setiap pagi aromanya selalu tercium sampai kamarku.
Seperti rak buku yang kamu buatkan untukku sudah melebihi kapasitas untuk
diisi. Dan mungkin aku butuh untuk kamu buatkan sekali lagi. Seperti cangkir
teh kamu yang mungkin juga rindu untuk diangkat olehmu. Aku rindu duduk bersama
diteras yang selalu menjadi tempat favorit kita itu. Duduk menikmati lembayung
ditemani petikan gitar tua milikmu. Pintu itu jika bisa bicara mungkin juga berkata,
aku merindukan ketukan darimu.
Pulanglah. Dan lantukan lagi
nyanyian senja itu untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar