Tanganmu bergelayut lemas dilenganku. Dan tanganmu yang
satunya tetap memegang sebuah buku yang baru saja kita beli, lebih tepatnya
kamu yang memilih. Seperti biasanya kamu memilih buku-buku yang bertemakan
kisah-kisah percintaan atau percakapan monolog yang sekali membacanya kamu bisa
ikut larut dalam emosi si pembuat cerita itu. Dan kepalamu bersandar dibahuku.
Kamu sibuk membaca dan aku sibuk memperhatikan ekspresimu. Kamu tidak menyadari
hal itu, itu kebiasaanmu ketika kamu sudah larut dengan sebuah buku kamu bahkan
tidak mempedulikan apa yang terjadi disekitarmu. Seolah-olah kamu terhipnotis
oleh setiap kata dan emosi yang dibubuhkan oleh si pembuat cerita. Tapi aku
tidak mempermasalahkan hal itu, aku tetap menyukaimu.
Seperti biasa setiap sore kamu selalu memintaku datang
untuk menemanimu disebuah cafe yang telah bertahun-tahun menjadi favoritmu. Dan
disudut cafe itulah kita duduk berdua sambil memesan dua cangkir cokelat panas
yang selalu menjadi favorit minumanmu. Sekali lagi aku tidak mempermasalahkannya.
Kapanpun kamu memintaku untuk datang aku selalu bersedia. Kamu bercerita
panjang lebar tentang teman sekantormu yang belakangan ini suka menawarimu
seorang lelaki yang telah memiliki kehidupan yang mapan. Katamu dia coba untuk
mencomblangimu. Aku menyimak dan sekali lagi memperhatikan detail senyum dan
tawamu ketika kamu menimpali setiap perbincangan bersama temanmu itu. Memangnya
dia barang yang kamu tawari ke aku seperti ini, ujarmu. Lalu akupun ikut
tertawa. Kenapa kamu tidak menyuruhnya datang saja sendiri untuk menemuimu,
lanjutku. Kamu diam sesaat sambil menenggak beberapa teguk cokelat panas itu.
Lalu kamu tersenyum melihatku, apa kamu nanti tidak cemburu? Cemburu....???
Ujarku. Aku tertawa terbahak-bahak seolah-olah merasa geli mendengar kata itu
didengungkan. Kamu tertawa, kita tertawa
lepas. Apa salahnya kamu mencoba memberinya kesempatan, kataku. Kamu kembali
terdiam dan menatap mataku dalam-dalam. Sontak aku terkejut kamu bersikap
seperti itu. Aku tidak apa-apa mencoba, memecah kediamanmu itu. Baiklah
terdengar lenguhan napas panjang keluar dari mulutmu. Aku membaca gelagatmu.
Apa ada yang salah dengan ucapanku?? Tidak, jawabmu.
Setelah sore itu aku dan kamu hampir tidak pernah lagi
memiliki waktu luang untuk bertemu. Dikantorku intensitas kesibukan meningkat
sehingga memaksaku untuk lembur dan pulang pagi. Waktu liburpun tak sempat
untuk aku nikmati. Kamupun begitu. Kita hanya berbagi kabar melalui sms-sms
singkat. Aku bersyukur kamu baik-baik saja. Dan kamupun selalu kembali mengingatkanku.
Tibalah waktu dimana kamu memintaku untuk menemanimu
lagi. Hei, apa bisa sore ini kamu menemuiku ditempat biasa? Pesan singkatmu.
Aku tersenyum membacanya. Akhirnya kesempatan untuk melihat senyummu datang
lagi. Dengan cepat aku membalasnya, I'll be there. Tepat pukul 16.15 WIB
aku tiba dicafe itu, seperti biasa kamu sudah duduk disudut sambil menikmati
secangkir cokelat panas dan sebuah buku. Kali ini senyummu sumringah sekali.
Benar saja, ada kabar bahagia yang ingin kamu ceritakan. Dia, lelaki yang
ditawari oleh temanmu itu kini melamarmu. Memintamu untuk menjadi teman
hidupnya. Sontak ketawaku tertahan dan senyumku menjadi kaku. Ada perasaan aneh
yang tiba-tiba mendobrak didalam dadaku. Cemburu, patah hati? Mungkin saja.
Aaah ternyata kamu benar. Kini aku mempermasalahkannya, kabar ini, suasana ini.
Aku gagal dalam memahami perasaanku sendiri. Aku juga
gagal memahami setiap gerikmu yang memberi pertanda bahwa pintu hatimu telah
lama terbuka untukku.
Sejam menjelang prosesi tersakeral hidupmu, aku datang
menemuimu. Kamu terlihat lebih anggun mengenakan baju pengantin itu. Senyummu
masih seperti biasa yang aku selalu aku lihat. Namun ada yang lain, matamu
berkaca-kaca memandangku. Aku telah lama menunggumu untuk berani seperti dia.
Tapi kupikir kamu biasa saja terhadapku. Ujarmu. Akupun merasakan pipiku basah
karena sesal didada ini seakan mendobrak habis tulang-tulang didadaku. Maafkan
aku, ujarku sambil memelukmu. Sebelum melepaskanmu pergi bersama lelaki yang
beruntung itu. Tenang saja aku akan seperti biasa jika kamu meminta aku
bersedia. Berbahagialah kamu bersamanya. Doakan aku untuk menemukan seseorang
sepertimu, pintaku. Kamu mengangguk dan mengusap air mata dipipimu.
Mereka yang melihat kita berdua mungkin berpikir ini
adalah tangisan dua sahabat yang merasa haru melihat sahabatnya berbahagia.
Tapi kita tidak. Ini perpisahan yang paling mengiris-ngiris pedih di hatiku.
Menyisakan lubang teramat dalam.
Selamat menempuh hidup baru perempuanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar