Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Agustus 2014

Dan aku lupa... Sampai kemudian...


Aku lupa bagaimana senangnya ketika mengangkat telepon darimu. Lalu sedetik kemudian suaramu terdengar diujung sana. "Hai, kamu apa kabar hari ini?" Disela-sela kesibukanmu.

Aku  lupa tentang bagaimana senangnya terbangun tengah malam dan mendengar sapaanmu diseberang sana. Mendengar celotehanmu sepanjang malam hingga pagi menjelang. Menertawai hal-hal aneh dan lucu yang kita lalui hari itu, walau dalam hal ini porsi kamu lebih besar untuk bercerita dan aku berperan sebagai pendengarmu yang tentang apa saja kamu ceritakan aku selalu tersenyum dan tertawa.

Aku  lupa bagaimana antusiasnya aku menunggu telepon genggam ku berbunyi untuk sekedar memeriksa itu SMS  darimu atau bukan. Ketika aku menyadari SMS itu dari kamu tak ayal senyumku dengan spontan mengembang. Hanya untuk mengingatkan "Jangan lupa makan siangnya", sederhana tapi begitu sarat akan makna. Dan tentu saja hal itu memberiku efek bahagia sepanjang hari. 

Aku lupa bagaimana rasanya berjalan kaki dibawah rintik hujan yang membuat kita sedikit basah. Tapi hal itu sangat kusukai, tentu saja hal itu karena ada kamu disampingku. Yang mungkin bagi sebagian orang tidak akan nyaman berjalan seperti kita. 

Aku  lupa bagaimana senja cepat sekali berlalu ditaman itu. Padahal saat itu kita baru saja duduk dan menikmati es krim berdua dan tiba-tiba saja langit sudah gelap. Hamparan jingga berubah menjadi gemerlap bintang. Dan kamu berkata "Cepat sekali waktu ini berlalu" sambil melihat jam tanganmu. 

Aku lupa bagaimana rasanya ketika kamu tiba-tiba meneleponku hanya untuk mengatakan "Aku rindu kamu" dan aku hanya bisa tersenyum diujung teleponku. Kamu bilang "Beri aku waktu 5 menit saja untuk berbicara denganmu", dan tahu-tahu kita sudah menghabiskan 2 jam percakapan. Sehingga pekerjaan kamu dan aku terbangkalai tapi kita sama-sama menikmatinya. 

Dan aku lupa dengan semua perasaan yang senyaman dan semenyenangkan itu, sudah lama.

Sampai kemudian, ada dia.


 Note: Cerita diatas ngikut gaya tulisan nya Mas Erick Namara :D




Rabu, 28 Mei 2014

Lalu, apa yang membawamu kembali?




 
here

Bagaikan mengingat wajah seseorang yang tak pernah aku temui. Seperti itulah upayaku untuk melupakanmu.

Benarkan...? Hatiku langsung luluh ketika mendapatkan satu kata "hai" saja darimu. Aaah, lemahnya hati. Seakan memori yang tersimpan rapi nun jauh didalam sana keluar berhamburan. Desiran itu, senyuman itu membiusku berkali-kali untuk larut dalam kenyamanan hati yang sempat kamu berikan.

5 tahun, 5 tahun pergulatan hati yang kuhadapi untuk melawan perasaan itu.  Sapaan itu berhasil mendobrak pagar yang telah aku persiapkan, aah ternyata aku terlalu lemah membangunnya. Seharusnya aku lapisi baja berkali-kali agar tidak ambruk, bodohnya aku. Haruskah ku nikmati?? Atau aku hindari?? Sekali lagi hati dan logika tidak sejalan. 

Jadi, selama ini kamu kemana saja? Datang dan pergi sesukamu? Hatiku ini punya aturan, nona. Kamu tidak bisa seenaknya saja seperti ini terhadapku. Apa kamu memanfaatkan hatiku yang lemah ini untuk bersikap seperti itu. Mentang-mentang kamu tahu aku sangat menginginkanmu jadi bisa sesukamu? Berhentilah seperti itu.

Ingat..!! Masih ada luka yang belum mengering sejak kamu tinggal pergi? Sekarang kamu mau apakan lagi? Mau menambah luka? Atau mengobatinya? Kamu lihai sekali mengambil hati yang sudah terlanjur luluh ini dengan senyuman manismu itu. Seolah kamu tersenyum tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Tidakkah kamu mengingatnya? Sore itu, aku menyaksikannya sendiri dengan kedua mataku. Kamu bermesraan dengannya disebuah tempat favorit kita. Tidakkah kamu mengingatnya? 

Pilihanmu sendiri yang membawamu pergi dariku. Lalu kini, apa yang membawamu datang kembali??


Selasa, 27 Mei 2014

Kita sedang bersandiwara, sayang.


here



Dulu, dengan spontan kamu mengatakan “I LOVE YOU”

Belum sampai 30 detik aku merasakan desiran darah yang naik turun, jantung berdebar cepat, rasa senang membuncah, tiba-tiba kamu mengatakan sambil tertawa lepas "aku hanya bercanda" sambil menepuk ringan bahuku.

Aaah, kamu pintar sekali sayang. Pintar membuatku merasa senang seperti melayang ringan diudara, hingga membuatku jatuh kembali dan terhempas ke bumi. Membuat aku tersadar ternyata kita sedang bersandiwara.


Berbahagialah



 
here

Tanganmu bergelayut lemas dilenganku. Dan tanganmu yang satunya tetap memegang sebuah buku yang baru saja kita beli, lebih tepatnya kamu yang memilih. Seperti biasanya kamu memilih buku-buku yang bertemakan kisah-kisah percintaan atau percakapan monolog yang sekali membacanya kamu bisa ikut larut dalam emosi si pembuat cerita itu. Dan kepalamu bersandar dibahuku. Kamu sibuk membaca dan aku sibuk memperhatikan ekspresimu. Kamu tidak menyadari hal itu, itu kebiasaanmu ketika kamu sudah larut dengan sebuah buku kamu bahkan tidak mempedulikan apa yang terjadi disekitarmu. Seolah-olah kamu terhipnotis oleh setiap kata dan emosi yang dibubuhkan oleh si pembuat cerita. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal itu, aku tetap menyukaimu. 

Seperti biasa setiap sore kamu selalu memintaku datang untuk menemanimu disebuah cafe yang telah bertahun-tahun menjadi favoritmu. Dan disudut cafe itulah kita duduk berdua sambil memesan dua cangkir cokelat panas yang selalu menjadi favorit minumanmu. Sekali lagi aku tidak mempermasalahkannya. Kapanpun kamu memintaku untuk datang aku selalu bersedia. Kamu bercerita panjang lebar tentang teman sekantormu yang belakangan ini suka menawarimu seorang lelaki yang telah memiliki kehidupan yang mapan. Katamu dia coba untuk mencomblangimu. Aku menyimak dan sekali lagi memperhatikan detail senyum dan tawamu ketika kamu menimpali setiap perbincangan bersama temanmu itu. Memangnya dia barang yang kamu tawari ke aku seperti ini, ujarmu. Lalu akupun ikut tertawa. Kenapa kamu tidak menyuruhnya datang saja sendiri untuk menemuimu, lanjutku. Kamu diam sesaat sambil menenggak beberapa teguk cokelat panas itu. Lalu kamu tersenyum melihatku, apa kamu nanti tidak cemburu? Cemburu....??? Ujarku. Aku tertawa terbahak-bahak seolah-olah merasa geli mendengar kata itu didengungkan.  Kamu tertawa, kita tertawa lepas. Apa salahnya kamu mencoba memberinya kesempatan, kataku. Kamu kembali terdiam dan menatap mataku dalam-dalam. Sontak aku terkejut kamu bersikap seperti itu. Aku tidak apa-apa mencoba, memecah kediamanmu itu. Baiklah terdengar lenguhan napas panjang keluar dari mulutmu. Aku membaca gelagatmu. Apa ada yang salah dengan ucapanku?? Tidak, jawabmu. 

Setelah sore itu aku dan kamu hampir tidak pernah lagi memiliki waktu luang untuk bertemu. Dikantorku intensitas kesibukan meningkat sehingga memaksaku untuk lembur dan pulang pagi. Waktu liburpun tak sempat untuk aku nikmati. Kamupun begitu. Kita hanya berbagi kabar melalui sms-sms singkat. Aku bersyukur kamu baik-baik saja. Dan kamupun selalu kembali mengingatkanku. 

Tibalah waktu dimana kamu memintaku untuk menemanimu lagi. Hei, apa bisa sore ini kamu menemuiku ditempat biasa? Pesan singkatmu. Aku tersenyum membacanya. Akhirnya kesempatan untuk melihat senyummu datang lagi. Dengan cepat aku membalasnya, I'll be there. Tepat pukul 16.15 WIB aku tiba dicafe itu, seperti biasa kamu sudah duduk disudut sambil menikmati secangkir cokelat panas dan sebuah buku. Kali ini senyummu sumringah sekali. Benar saja, ada kabar bahagia yang ingin kamu ceritakan. Dia, lelaki yang ditawari oleh temanmu itu kini melamarmu. Memintamu untuk menjadi teman hidupnya. Sontak ketawaku tertahan dan senyumku menjadi kaku. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba mendobrak didalam dadaku. Cemburu, patah hati? Mungkin saja. Aaah ternyata kamu benar. Kini aku mempermasalahkannya, kabar ini, suasana ini.

Aku gagal dalam memahami perasaanku sendiri. Aku juga gagal memahami setiap gerikmu yang memberi pertanda bahwa pintu hatimu telah lama terbuka untukku.

Sejam menjelang prosesi tersakeral hidupmu, aku datang menemuimu. Kamu terlihat lebih anggun mengenakan baju pengantin itu. Senyummu masih seperti biasa yang aku selalu aku lihat. Namun ada yang lain, matamu berkaca-kaca memandangku. Aku telah lama menunggumu untuk berani seperti dia. Tapi kupikir kamu biasa saja terhadapku. Ujarmu. Akupun merasakan pipiku basah karena sesal didada ini seakan mendobrak habis tulang-tulang didadaku. Maafkan aku, ujarku sambil memelukmu. Sebelum melepaskanmu pergi bersama lelaki yang beruntung itu. Tenang saja aku akan seperti biasa jika kamu meminta aku bersedia. Berbahagialah kamu bersamanya. Doakan aku untuk menemukan seseorang sepertimu, pintaku. Kamu mengangguk dan mengusap air mata dipipimu.

Mereka yang melihat kita berdua mungkin berpikir ini adalah tangisan dua sahabat yang merasa haru melihat sahabatnya berbahagia. Tapi kita tidak. Ini perpisahan yang paling mengiris-ngiris pedih di hatiku. Menyisakan lubang teramat dalam. 

Selamat menempuh hidup baru perempuanku. 




Nanti sesekali waktu... Maukah kamu?


here


Nanti sesekali waktu, maukah kamu datang menemuiku lagi?

Sambil menikmati makan siang di kotamu. Kita kembali berbicara panjang lebar sampai malam menyambut senja. Berbicara tanpa ada rasa sekat yang seolah membelenggu kita. Berbicara apapun yang kita mau seperti dulu lagi. Bisa? 

Maukah kamu datang menemuiku lagi, nanti. Ketika aku sudah menetap dikota kelahiranmu itu. Bahkan jika kamu mau, dengan senang hati aku akan menerima kedatanganmu untuk selalu menemuiku sepulang kerja nanti. Maukah kamu?

Aahh, aku selalu mendamba seperti waktu yang telah berlalu. Pergi nonton berdua, menikmati keramaian berdua. Bahkan kita pernah mengomentari sepasang kekasih muda yang sedang asik duduk berdua sehingga tidak menghiraukan keberadaan manusia lain didekatnya. Kita tertawa. Lalu sepasang kekasih muda itu menoleh kearah kita, dan kitapun terkejut. Dengan tampang tak berdosa kitapun acuh tak acuh terhadap mereka. Geli sendiri jika aku ingat-ingat.

Ooh iya, masihkah kamu mengidolakan club sepak bola itu? Seperti pertama kali kamu menceritakan kesukaanmu terhadap club tersebut. Sehingga tanpa alasan apapun akupun turut mengidolakannya. Meskipun aku tidak terlalu paham dengan permainan yang disukai oleh hampir seluruh manusia dimuka bumi ini. Sampai-sampai aku membeli beberapa barang yang memiliki lambang dari club bola itu. Ceritamu itu masih selalu menjadi andil dalam hariku, terkadang aku sengaja memilih beberapa barang sebagai koleksi. Seperti selimut yang berlambangkan bendera club favorite kamu itu. Tentunya  itu sebagai pengingatku terhadapmu. 

Kotamu itu adalah impianku untuk membangun masa depan. Hei, bantu aku dengan doamu untuk mencapainya. Meskipun tidak setiap hari, setidaknya aku bisa merasa dekat denganmu.

Nanti sesekali waktu, kalau kamu bersedia dan jika dia mau kita bisa menghabiskan waktu seharian bertiga dan saling bertukar cerita. Tenang saja aku tidak akan memperlihatkan raut sedihku karena dia telah memilikimu seutuhnya. Bahkan mungkin nanti kami berdua bisa menjadi sahabat, seperti aku dan kamu. Cemburu? Tentu saja tidak, kata itu sudah jauh-jauh aku lepaskan keudara. Kamu tenang saja. Dan tentunya aku juga tidak akan membuat dia cemburu kepadaku, sebab aku tahu semua hal yang berkaitan denganmu seperti makanan apa yang kamu tidak bisa makan, impian-impianmu, cerita keponakanmu yang lucu-lucu itu. Aku akan mengunci cerita itu rapat-rapat agar dia nyaman bersamaku. Tenang saja.

Dan sekarang satu pintaku, bantu aku menjemput impian itu dengan doamu.